Masih teringat waktu pandemi COVID-19 melanda, keadaan di Indonesia bahkan di seluruh dunia menjadi sangat berbeda. Hampir semua aktivitas dilakukan dari rumah.Â
Semua gerak menjadi sangat terbatas, karena saat itu untuk menghindari penularan Covid-19 semua orang harus menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Salah satunya adalah physical distancing atau pembatasan jarak manusia secara fisik. Ini dilakukan untuk memutus mata rantai virus Corona. Ketika banyak orang melakukan aktivitasnya di rumah, maka laju penularan Covid-19 dapat berkurang.
Ini berlaku juga untuk dunia pendidikan yang harus meniadakan pembelajaran tatap muka untuk menghindari penularan virus Corona di sekolah.
Bahkan UNESCO melaporkan sekitar hampir 1,6 miliar peserta didik di dunia terdampak akibat penutupan sekolah, dan 68 juta peserta didik di antaranya ada di Indonesia. Di tengah masa sulit kegigihan para guru yang tetap mengakomodasi anak didiknya patut diapresiasi, karena pandemi membuat situasi dan kondisi pembelajaran siswa menjadi sangat terbatas.
Pandemi yang mengharuskan aktivitas belajar mengajar dari rumah ini tentu saja menguji kompetensi guru untuk menyiasati penyampaian materi kepada muridnya.
Teknologi menjadi pilihan untuk menyampaikan materi pelajaran sekolah kepada para murid, karena penyampaian materi kepada para murid terkadang tak berjalan mulus karena terbatasnya keadaan waktu pandemi. Tentu saja dampak dari pandemi tak mudah untuk semua tenaga pengajar di Indonesia.Â
Hal ini pula yang dialami oleh Galih Suci Pratama, guru muda dari Semarang, Jawa Tengah. Galih berusaha menghadapi tantangan yang dihadapinya beserta teman-teman seprofesinya yang harus mengajar melalui daring. Ini bukan hal yang mudah dilakukan.Â
Kendala yang mereka hadapi salah satunya adalah tentang aplikasi meeting online yang jarang mereka gunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Bahkan ada yang sangat asing dengan aplikasi online yang harus mereka gunakan saat pandemi.Â