Mohon tunggu...
enny laraswati
enny laraswati Mohon Tunggu... Administrasi - seorang ibu yang penyayang

dokter,magister manajemen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terlalu Lama Menanti

23 September 2019   14:11 Diperbarui: 23 September 2019   14:16 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari sudah kembali terasa panas. Terasa menggigit , entah karena perasaanku yang sedang galau. Ataukah karena memang siang ini lebih tinggi suhunya.
Entah sudah berapa kali kulihat kotak suratku, dan selalu saja masih kosong melompong. dan hati yang gosong rasanya sudah makin menggerogoti raga yang terasa makin renta.

Kulihat dan dengan segala rasa berbaur , kubuka dompet lusuhku. Dengan tangan gemetaran berusaha mengeluarkan secuil kertas yang sudah tak lagi berbentuk dari selempitan saku dompet yang sengaja kutindih dengan kartu identitasku. Agar tak ada yang tau kertas berharga ini.
Yah, kertas foto, fotoku bersama semua anak-anakku.
Masih terasa hangat dadaku membayangkan anak-anak kekasih hatiku.
Semua sudah punya kehidupan pribadi masing-masing. Dan kubayangkan gelak tawa mereka seperti ketika mereka masih kecil dulu.
Berkejaran berlomba menangkap kupu-kupu. Kadang bermain musik bersama, bernyanyi dan menari dengan sejuta bahagia.

Kini semua tak ada yang bisa melihat, betapa foto ini kusimpan rapi. Di belakang foto itu ada kata-kata mesra dari ayah mereka. Jeng, jangan biarkan penantianku sia-sia. Bila aku sudah tiada, tolong besarkan anak-anak kita semampumu.
Tak terasa butiran mutiara bening hangat membasahi kerudungku.
Sudah hampir seperempat abad dia tiada, pergi dan tak mungkin kembali. Keganasan tumor yang sudah bermetastase ke mana-mana membuat Tio , ayah anak-anakku , menyerah setelah bergumul beberapa tahun dan sudah beragam terapi dan operasi dijalani.
Seperempat abad , bukan waktu yang pendek....
Dia menantiku di sana, dan aku harus bergulat untuk membesarkan, menyekolahkan . Memberinya pendidikan agama, memberi contoh. menikahkan dan sebagainya...dan sebagainya.

Beberapa kali, ada-ada saja laki-laki baik teman kerja, teman sekolah, atasan menggodaku. Kadang terasa ada yang begitu menyakitkan, merendahkan harkat dan martabatku sebagai wanita.
Harus kutekan dan kubenamkan rasa yang kadang tak tertahankan karena kecewa. Mengapa harus seperti itu yang aku alami , akibat kesendirianku.
Sempat ada keinginan untuk berumah tangga lagi. Tapi ada rasa bersalah karena Tio menantiku di sana.

Dalam diam kutatap foto anak-anakku...Karena aku tak kuasa menyimpan foto Tio..
Ya Tuhan.... kuatkanlah dalam penantian ini.....dan jagalah semua anak turunku di manapun berada....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun