Mohon tunggu...
enny laraswati
enny laraswati Mohon Tunggu... Administrasi - seorang ibu yang penyayang

dokter,magister manajemen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku Hanya Untukmu

14 September 2019   14:18 Diperbarui: 14 September 2019   14:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Ayo... kurang satu... langsung berangkat ", teriak Ning Sambil menggendong anak balitanya. Siang bolong yang panas, tetap saja teriakan nyaring dan agak kempreng membahana di terminal bemo. Berlelehan keringat tak dihiraukannya, menawarkan dan mencari penumpang.

Kadang sambil menunggu penumpang penuh , dia duduk bersandar di tempat duduk tunggu menghibur anak perempuannya yang cantik dan mungil.
Anaknya berusia sekitar 4 tahun, tampak tenang dan tidak rewel mengunyah jajanan yang diberi penumpang bemo.

" Kurang satu.... ", teriak Ning membahana.

Tampak seorang pelajar tergopoh menaiki bemo yang akan segera berangkat. " Maaf... maaf... ", kata penumpang yang baru naik.
" Pir... ayo, wes bek.. ", lagi-lagi suara Ning memecahkan siang memanggil pak sopir yang masih sibuk minum kopi.
" Yo... sik... ", balik pak sopir teriak kepada Ning.

Ning berbalik ke bemo yang sudah penuh sesak itu. Diambilnya ecek-ecek untuk mengiringinya bernyanyi.
 " Hampir berangkat..., mohon maaf.. lagu agak sedih... yaa... ", dan terdengarlah lantunan lagu mendayu dari bibir wanita tegar itu.
Meskipun suaranya tak terlalu merdu.

Beberapa penumpang dengan ikhlas memberikan uang recehan , ada logam dan uang kertas dimasukkan ke dalam gelas bekas air mineral yang sudah agak lusuh. Wajah Ning tampak sumringah melihat gelas yang penuh uang itu.

Tiap kali ada calon penumpang bemo, Ning selalu berteriak dengan penuh semangat mengarahkan mana-mana bemo yang akan berangkat.
Dan tak lupa dengan menggendong putri kecilnya. Seakan tak dihiraukannya lelah dan beratnya beban kehidupan yang harus disandangnya.
Diusapnya rambut putri mungilnya dengan penuh sayang. Entah apa yang ada di dalam hatinya, kadang terlihat agak meredup matanya seakan menyimpan rasa sedih atau sakitnya.

Semua yang memandang bisa merasakan betapa cintanya pada buah hatinya itu.
Semoga hari-hari yang dilaluinya tak harus lebih keras , seiring perubahan keadaan .
         
                 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun