Mohon tunggu...
enny laraswati
enny laraswati Mohon Tunggu... Administrasi - seorang ibu yang penyayang

dokter,magister manajemen

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ketika Air Terasa Mahal

12 September 2019   14:48 Diperbarui: 14 September 2019   15:05 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertanam tanaman untuk jadi semacam warung keluarga adalah salah satu kesukaan atau hobiku. Untuk itu dibutuhkan air yang cukup banyak.
Sampai suatu saat  aku harus tinggal di rumah dinas yang sangat sulit airnya. Air PDAM belum masuk, sementara bila membuat sumur bor walaupun sangat dalam air yang keluar sangat tinggi kandungan garamnya. Sehingga air sumur tersebut sangat tidak layak meski cuma untuk sekedar cuci- cuci.
Masyarakat desa sekitar membuat telaga buatan, sebagai salah satu cara untuk penampungan air hujan yang secara langsung dari udara terbuka.
Tapi sayangnya telaga itu letaknya agak jauh dari rumah yang kutempati dan harus melewati tanah yang cukup terjal untuk masuk ke telaga itu.

Masyarakat saat itu masih menggunakan telaga itu untuk cuci dan mandi. Aku juga berusaha untuk menimba airnya beberapa kali tak bisa banyak, karena kesulitan membawanya dan tubuh mungilku agak repot dibuatnya.

Sampai suatu saat kami membuat sumuran untuk peresapan, penyaringan air telaga, dengan menggunakan ijuk, batu kerikil, dan diberi klorin . Kondisi airnya menjadi lebih baik.

Air hasil menimba di telaga aku tampung di jeding dan ember, untuk mandi dan cuci serta untuk menyiram kloset. Untuk mengirit, kami mandi berdiri di bak yang cukup besar, air bekas mandi itu bisa untuk siram- siram tanaman maupun untuk kloset.

Air PAM harus antri digledeg dengan beberapa tong-tong. Air PAM jadi terasa mahal karena selain harus beli, antri dan meminta tolong orang yang mau mendorong gledegan itu ke rumah kami.

Sehingga air mahal itu hanya untuk memasak, makan minum dan memandikan anak bayiku.

Air untuk menyiram tanaman juga aku ambilkan dari air bekas cucian beras, air bekas cucian daging atau ayam atau ikan dan bekas cucian sayuran.
Dan... ada air lainnya yang kucoba untuk dipergunakan... yaitu air seni. Air seni ditampung di kaleng-kaleng bekas, dan dicampur air bekas mandi .
Segala macam air dipergunakan, sebagai daur ulang untuk hobi bertanam.

Bila musim hujan tiba, sangat meringankan. Karena kutampung, ada yang langsung dari udara terbuka langsung ke tong penampungan. Juga menampung dari air talang air.

Senang sekali bila saatnya panen tanaman di depan halaman rumah, yang palin bagus tumbuhnya adalah gambas, bisa besar-besar dan panjang. Bila sudah terlalu tua bisa jadi alat untuk cuci piring.

Dan saat air telaga sudah bisa disedot dengan pipa dan pompa air, lebih ringanlah.

Berhemat air selagi bisa, karena lahan sudah semakin sempit. Dan bahaya air sumur menjadi harus diwaspadai bila perkampungan sangat padat, karena jarak sumur dengan septik tank tetangga bisa jadi tidak memenuhi syarat.

Air PAM memang menjadi prioritas pengadaannya . Dan alhamdulillah saat-saat sulit itu sudah berlalu.

Tapi kebiasaan berhemat air masih tetap aku terapkan sampai sekarang. Juga air mineral sisa tidak langsung dibuang begitu saja karena bisa untuk sedekah ke tanaman di jalan yang kurang beruntung kurang terpelihara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun