Saya pernah membaca di harian Kompas tentang keluhan dari para agen penyedia /penyalur Asisten Rumah Tangga (ART) tentang makin sedikitnya tenaga ART. Alasannya, antara lain, mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau kantor, karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dahulu.
Tentunya kita semua senang mendengar peningkatan pendidikan di Indonesia, bukankah pendidikan adalah tanda dari kemajuan suatu bangsa? Bandingkan dengan jaman dahulu di mana banyak ART yang buta huruf. Pengalaman jaman saya kecil dahulu banyak ART yang sangat setia, mereka bahkan bisa bekerja lama sekali, menemani keluarga sejak anak-anak lahir, sampai anak-anak dewasa, bahkan ada juga yang sudah dianggap bagian dari keluarga majikannya. Seingat saya, dahulu Ibu saya tidak pernah khawatir ART nya tidak akan kembali bekerja.
Sekarang jarang sekali mendengar ART yang bekerja sampai berbelas tahun seperti jaman dahulu. Sering sekali kita mendengar keluhan tentang para ART , terutama dari para Ibu rumah tangga, seperti :
--sering keluar/resign, bahkan kadang secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, seperti yang pernah saya alami
--saat sebelum bekerja, mereka “meng-interview” calon majikan, misalnya menanyakan : berapa anaknya; apakah disediakan snack ; luas rumah; dll
--saat bekerja, tidak pernah lepas dari gadget
--memilih-milih makanan yang diberikan
--dan lain-lain
Kemudian, saya teringat seorang Ibu rumah tangga asal Indonesia namun sekarang berdomisili di Hong Kong. Selama ini, dia selalu memperkerjakan ART asal Indonesia. Hal ini bukan karena dia berdarah Indonesia sehingga memudahkan komunikasi, namun karena : tidak banyak menuntut & mau bekerja walaupun hari libur.
Teman saya dari Hong Kong tersebut, tidak pernah khawatir karena sudah bisa memastikan bahwa ART-nya akan kembali bekerja sesudah liburan di Indonesia. Penyebabnya karena mereka saling terikat kontrak kerja, seperti layaknya pegawai kantoran.
Bagaimana dengan Indonesia, apakah kontrak kerja serupa bisa diterapkan, di mana dicantumkan dengan jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta sanksi-sanksinya ?
Saya tidak pernah mendengar kontrak serupa diterapkan di sini, namun menurut saya, sudah seharusnya mulai dilakukan di sini, karena alasan-alasan berikut ini :
--dengan meningkatnya pendidikan para ART, mereka perlu diperlakukan secara lebih profesional, selain hak, mereka diajarkan mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajibannya. Dalam kontrak perlu disebutkan, antara lain : jangka waktu kontrak; gaji + benefitnya; uraian tugas; sanksi bagi kedua pihak, serta hal-hal lain yang dianggap perlu.
--dengan adanya kontrak kerja yang jelas, kedua pihak bertanggung jawab atas isi kontrak tersebut, sehingga (semoga) tidak ada lagi penyiksaan terhadap ART ; tidak ada jam kerja yang tanpa batas; tidak ada tindakan pidana seperti pencurian / penculikan/ dll.
--kontrak membuat para ART di “wongke” alias diperlakukan secara lebih manusiawi sesuai dengan hak hidupnya di dunia ini.
--seperti layaknya pekerja formil di perusahaan, si calon majikan dan calon ART perlu saling mewawancarai, apakah sesuai dengan keinginan masing-masing dan nantinya kesepakatan tertulis tersebut dicantumkan dalam kontraknya
Semoga dengan kontrak yang jelas, tidak ada lagi keluhan , baik dari majikan dan ART, kedua pihak bisa bekerja dengan tenang dan penuh tanggung jawab, dan para ART akan bangga dengan profesinya tersebut.
Kalau ojek bisa dikelola secara lebih professional seperti GOJEK, kenapa tidak dengan ART ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H