Selain sekolahku yang keterbelakangan, pemikiran masyarakat di sini juga seperti itu. Miris memang. Jika ditanya mengenai cita-cita, maka kujawab dengan lantangnya ingin memajukan kampungku. Di sini pendidikan bukanlah menjadi suatu hal yang terpenting, bisa dibilang mungkin pendidikan hanya untuk mereka-mereka saja yang memiliki uang, Pak Kades contohnya mungkin.
Sesampainya kami di sekolah kulihat bangku-bangku yang berjejer, tidak seberapa. Bahkan kelasnya saja hanya ada dua. Kantor guru dan kelas sudah itu saja. Karena terlalu bersemangat untuk memulai pelajaran hari ini aku sedikit berlari menuju bangkuku.
Tiba ... tiba....
BUGGGG
TRAKKK
Bangku yang kududuki patah, teman-teman bahkan sampai menertawaiku yang jatuh dari kursi. Aku mengaduh sedikit menepuk bagian tubuhku yang kesakitan.
"Aira, pagi-pagi kau sudah lawak saja," kata Asep sambil menertawaiku.
Aku mengeram kesal lalu berkata,"Palamu Asep, aku bukan sedang melawak. Aku terlalu semangat untuk menaklukan dunia ini."
"Halaaah. Cewek itu ujung-ujungnya juga di dapur, sumur, kasur," sahutnya kembali.
"Ujung-ujungnya kecebur ... hahahaha."
Kulihat Bu Guru datang menghampiriku, menanyai keadaanku dan syukurlah tidak terluka sedikitpun. Wajahku sedikit memerah menahan malu karena bangku yang kududuki sudah usang dan aku tergesa untuk duduk. Bu Guru pun menyuruh semua murid untuk diam segera memulai pelajaran, dalam hati aku berucap syukur.