"Krik... krik...krik..."
"Nguing...nguing...nguing..."
Suara jangkrik, kodok, dan nyamuk berpadu. Saya dan teman yang saya panggil kak Tiur masih di gajebo GKPM. Gereja tradisional protestan suku Mentawai.
Sudah berapa kali suara "plak" beradu terdengar. Kami berusaha mengusir nyamuk yang ingin menghinggapi kulit kami. Ukurannya hampir segede laron. Melihat ada mangsa ada di gajebo, nyamuk itu berlomba dengan ganas menancapkan jarumnya untuk menyedot darah kami yang segar.
Sejak sore kami sudah disana. Kami sedang mengirimkan laporan ke kantor pusat di Medan. Sesekali diselingi googling membuka media sosial yang sudah lama tidak dibuka. Sayup-sayup terdengar suara ombak pasang beradu di antara air, batu karang dan pepohonan.
Iya, kawasan GPKM dimana kami berada saat itu tak jauh dari bibir laut. GKPM memiliki fasilitas internet dan atas izin mereka kami dapat menggunakannya.
Mengirim laporan bukanlah pekerjaan yang saya sukai. Menara BTS (Base Transceiver Station) yang kurang memadai sering membuat sinyal di Sikakap hanya satu atau dua. Kalau cuaca sedang tidak bagus, muncul huruf E kapital di ujung bar sinyal.
Berada di daerah dengan jalur transportasi dan telekomunikasi yang sangat terbatas tapi harus berhadapannya dengannya kadang memang membuat gregetan. Kami yang berada di wilayah program dengan pihak kantor pusat menjadi kurang komunikasi. Bahkan, sebelum ada jaringan internet milik GKPM laporan ke kantor pusat jarang dilakukan.
Beruntungnya ada teman yang memberitahu kalau GKPM punya jaringan internet. Maka setiap mengirim laporan kami akan kesana. Akses internet satu-satunya yang bisa kami gunakan di Sikakap. Bisa dibilang, memiliki akses internet di wilayah dengan jaringan internet sangat minim merupakan kemewahan yang bisa kami nikmati. Akses kami berhubungan dengan dunia luar. Apalagi jika harus mengirim laporan ke kantor pusat di Medan.
Seiring berjalan waktu, saya semakin menyadari. Penyebab kemiskinan bukan hanya kemalasan. Kemiskinan bisa terjadi karena akses yang tidak terjangkau. Seperti kenyataannya pada saat itu saya berada di salah satu wilayah 3T (terdepan, terluar dan terpencil).
Akses telekomunikasi dan transportasi tidak memadai. Penyebab utama masyarakat kurang maksimal dalam mengelola sumber daya yang ada. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Padahal hasil pertanian seperti tanaman pisang, talas dan cengkeh lebih dari cukup, bisa dikelola untuk mensejahterakan masyarakat. Begitu juga hasil melaut begitu melimpah.Â
Bersyukurnya, bulan-bulan terakhir disana saya bisa menikmati jaringan internet GKPM. Memberi secercah harapan bahwa tak lama lagi, jaringan internet akan semakin terjangkau. Bila jaringan telekomunikasi sudah ada itu tandanya suatu tempat akan semakin maju. Saya yakin itu. Tinggal menunggu waktu saja.Â
Hari sudah malam. Bukan karena takut orang. Penduduk setempat ramah-ramah. Bila malam tiba, nyamuk-nyamuk semakin berkuasa dan jalanan bebatuan semakin gelap-gulita. Tidak ada lampu jalan. Kami hanya mengandalkan lampu motor dan lampu teras rumah penduduk yang jaraknya berjauhan. Ular yang melintasi jalanlah yang kami takuti. Ihh membayangkan saja, bulu kuduk sudah merinding duluan!
Belajar tanpa Batas melalui Internet
Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman itu. Tujuh tahun lalu memberi saya banyak pengalaman. Melihat dan mengalami kehidupan bermasyarakat dengan akses yang sangat-sangat terbatas.
Jika kapal Ambu-ambu akan berangkat dari pelabuhan Sikakap setiap hari Rabu dan Minggu sore, terdengar sirene bass kapal. Rasanya seolah ditinggalkan di pulau, jauh dari peradaban. Ketika kapal hilang dari pandangan mata seolah penghubung ke dunia telah putus. Sisi melankolis meruak ke permukaan.
Saat kapal mulai berlabuh di hari Rabu dan Minggu pagi setiba dari Padang, harapan terasa ada. Penanda bahwa masih ada kehidupan di luar sana. Hiruk-pikuk penumpang dan pedagang yang datang dari Padang terdengar. Masih ada harapan, masih ada kehidupan di luar sana. Bau kota sangat terasa, menghapus rasa rindu akan keramaian.
Waktu disana saya isi mengerjakan program, berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Bagi saya sendiri menjadi tempat yang tepat belajar menempa diri saya, berinteraksi dan memperhatikan serta melebur dengan kehidupan masyarakat.
Organisasi dimana saya bekerja melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menemukan solusi dan menjawab kebutuhan warga binaan  agar mereka melangkah lebih maju sehingga tidak hanya bergantung pada bantuan tetapi bergerak menuju kemandirian secara ekonomi. Melalui program yang sudah dirancang, masyarakat binaan didorong memikirkan ide-ide yang dapat diterapkan kehidupannya.
Tiga hal yang saya tanyakan pada diri saya ketika pandemi Covid-19 melanda. Saat kita semua harus tinggal di rumah. Rasanya seperti terkurung dengan ruang gerak sangat terbatas. Membuat saya mengingat kembali proses pemberdayaan masyarakat yang pernah kami lakukan.
Pertanyaan pertama, apa yang ada pada saya dan di sekitar saya sekarang?
Saya memiliki waktu luang dan akses internet. Sudah setahun lebih kami berlangganan IndiHome. Sejak pemilik kos tidak menyediakan jaringan internet, maka kami penghuni kos berinisiatif mengadakan jaringan internet dan patungan setiap bulannya.
Kami memutuskan menghubungi pihak IndiHome dan tak berapa lama setelah itu dari IndiHome segera mengirimkan petugas untuk memasang perangkat layanan Indihome 50 mbps. Sejak itu saya bisa mengakses internet selama 24 jam.
Pernah mengalami akses internet dalam kondisi seperti itu maka ketika bertemu akses yang terjangkau kapan saja, rasanya seperti berkelimpahan. Rasanya sia-sia saja kalau akses itu tidak dapat digunakan.
Pertanyaan kedua, apa yang bisa saya lakukan saat ini atau yang hal yang saya ingin lakukan?
Saya terpikir membuat lilin aroma terapi saja. Saya menyukai lilin aromaterapi. Setiap kali ke mall, saya selalu sempatkan melihat-lihat lilin aroma terapi. Entah kenapa, aroma yang dari lilin itu menyenangkan.
Pertanyaan ketiga, bagaimana saya bisa mewujudkannya?
Satu-satunya cara mewujudkan keinginan ialah mulai belajar dari nol. Saya kemudian mempelajari cara membuat lilin aroma terapi dari internet. Kemudian membeli bahan-bahannya setelah merasa yakin dan memulai eksperimen sesuai referensi yang saya peroleh. Terbiasa melakukan praktikum di laboratorium sewaktu kuliah dulu menambah rasa percaya diri saya melakukan percobaan dengan aman.
Percobaan pertama gagal, hingga beberapa kali percobaan akhirnya saya bisa. Saat ragu saya kembali lagi menoleh ke internet. Hingga berkali-kali mencoba lagi dan lagi. Pada akhirnya, saya semakin mahir melakukannya. Persis seperti yang kami lakukan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kepulauan Mentawai.
Iya, saya telah memberdayakan diri. Kehadiran internet memang luar biasa. Memberi banyak kesempatan dengan informasi tanpa batas.
Bila suka bercocok tanam, sesederhana mengetikkan di Google:
"Cara bertanam organik, cara mengolah limbah organik dapur menjadi kompos, cara membuat pupuk organik cair, cara membuat pestisida organik."
Bila ingin menjual hasil kreativitas sesederhana mengetikkan, "cara berjualan secara online" dan banyak lagi.
Dalam berbagai bidang dan banyak wilayah, pulau terpencil maupun pusat kota, Telkom Indonesia internetnya Indonesia telah membuka jalan tanpa batas. Memberi peluang bagi banyak orang agar bisa berdaya: meningkatkan diri, mewujudkan mimpi bahkan meningkatkan perekonomian. Asal ada kemauan untuk memberdayakan diri dan merengkuh manfaat internet. Jadi, tunggu apalagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H