Mohon tunggu...
Erni Pakpahan
Erni Pakpahan Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan Swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Film Lahir dari Upaya Keras Para Sineas

3 April 2018   12:16 Diperbarui: 30 Maret 2021   12:27 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: harifilmnasional.id

...Overall, menurut saya, rating: B+, bukan promosi, hanya sekedar berbagi, skalian mendukung perfilman Indonesia untuk menghasilkan  film2 yang berkualitasJ-Ruben.

Penggalan status seorang teman berisi sharing pengalaman setelah menonton film Cake Moon Story. Menurutnya, film nasional yang dia tonton dalam perjalanannya menuju Surabaya saat itu sangat menginspirasi. Sampai-sampai dia pun membagikannya di laman facebook pribadi, dengan catatan penutup sengaja menonton film nasional untuk mendukung perfiliman nasional agar semakin lebih baik.

Menyusul menyebutkan beberapa film menginspirasi lain sebagai pelengkap statusnya tersebut: Laskar Pelangi, Filosofi Kopi, Sabtu Bersama Bapak. Saya kira tiga contoh ini hanya sebagai contoh pelengkap mengingat ada banyak lain film nasional yang sudah menginspirasi.

Jelas tersurat agar kita tak perlu merasa ragu menonton film nasional dan tidak ada ruginya menonton film nasional karena film nasional sekarang sudah banyak yang menginspirasi. Plus harapan akan deretan film nasional berkualitas akan semakin lebih banyak lagi.

Doc. Ruben
Doc. Ruben
Tuh kan, statusnya membuat saya kepengen nonton film Cake Moon Story. Berarti tidak sia-sia dong ulasan film para reviewer. Saya piker, ulasan film entah panjang atau pendek yang kita posting di media sosial apapun akan sangat berguna. Apalagi promosi film nasional yang memang sangat layak ditonton.

Ulasan bisa menjadi modal awal bagi calon penonton. Calon penonton mendapat informasi tentang sebuah film melengkapi trailer film yang memang sudah ada. Review film bisa juga menjadi pelengkap informasi bagi sineas tentang harapan akan sebuah film menurut sudut pandang penonton. Disinilah kesempatan bagi para pengulas film agar membuat ulasan secara jujur.

***

Wajah film nasional kini memang semakin menarik memikat hati. Jauh sebelumnya film nasional pernah mengalami kemerosotan kualitas. Sekitar tahun 1970 hingga 1989. Sejak masa itu tidak sedikit penonton sering merasa ragu dan rugi menonton film nasional. Sampai tahun lalu, dua hal ini masih mencengkeram pandangan saya.

Flashback pengalaman tahun lalu mengikuti acara KOMiK bekerjasama dengan Danamon, sedikit banyak mempengaruhi pandangan saya tentang film nasional. Acara tersebut mengulas tentang awal kebangkitan film nasional dan bagaimana sebenarnya para sineas bekerja keras di balik film.

Tayangan berdurasi kurang lebih 120 menit yang biasa kita saksikan berasal dari terjemahan naskah panjang dengan pesan kompleks di dalamnya. Oleh usaha keras para sineas menjadi adegan-adegan yang hidup. Lama waktu rata-rata menelurkan sebuah film lebih lama dari mengandung janin, bisa mencapai dua hingga tiga tahun bahkan bisa lebih lama, disini.

Berselang beberapa bulan setelah acara KOMiK, saya mendapatkan ajakan/undangan menjadi peserta screening film remaja di sebuah rumah produksi di Jakarta Selatan. Menjadi peserta reviewer film yang samasekali belum di edit. Acara screening film nasional waktu itu memberikan gambaran upaya para sineas melahirkan sebuah film.

Tentu saja melihat rumah produksi itu seperti apa. Ahahaha, padahal kayak kantor biasa saja sih. Big thanks untuk seseorang yang menyarankan saya. Saya harap dia membaca tulisan ini ;)

Harapan diBalik Tercetusnya Hari Film Nasional

Setiap tahun kita resmi memperingati HFN yang ditetapkan pada Oktober 1962. Hari Film Nasional (HFN) tepat pada tanggal 30 Maret. Asal-usul hari film nasional diambil dari hari pertama pengambilan gambar film berjudul Darah dan Doa (The Long March) pada 30 Maret 1950 oleh rumah produksi Perfini (Persatuan Film Nasional).

Film Darah dan Doa disutradarai oleh Usmar Ismail yang sekaligus digelari sebagai Bapak Perfiliman Indonesia. Sebuah film yang menceritakan perjalanan panjang prajurit Indonesia dan keluarganya dari Yogyakarta ke pangkalan utama di Jawa Barat. Film ini menjadi awal kebangkitan film nasional (sumber Rappler.com).

Sayangnya, sejak tahun 1971 hingga 1998 yang cenderung didominasi film-film erotis dalam upaya menyaingi film Holywood dan Hongkong yang menguasai bioskop saat itu.

Sepuluh tahun terakhir hingga saat ini sejak tahun 1998 deretan film nasional semakin menarik memikat hati. Kini, film nasional minim adegan vulgar ikut ditunggu-tunggu oleh penonton.

Bahkan tak sedikit film nasional memberi pengaruh di banyak bidang di negeri kita. Ambil beberapa contoh film yang saraf makna terakhir ini. Film yang menarik banyak penonton pada eranya.

Film Dilan 1990, berhasil merebut perhatian hampir tujuh juta penonton. Malahan bisa menimbulkan efek Dilanisasi di kalangan anak muda. Karena film Dilan, tiba-tiba saja para penontonnya kaya akan kosa kata.

Film Filosofi Kopi dari karya Dewi Lestari ini juga menimbulkan efek serupa. Sedikit banyak berpengaruh menaikkan citra baik minuman kopi di kalangan masyarakat. Memang sih saya enggak punya data, tetapi saya yakin sejak itu trend minum kopi semakin meningkat. Kebaikan film Filosofi Kopi berdampak pada peningkatkan konsumsi kopi dan ada pengaruhnya pada tren kafe kopi. Secangkir kopi menemani saya saat menulis ulasan ini. Kopi Tapanuli :p

Bagaimana dengan film Laskar Pelangi? Film yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata ini pun membuka banyak sekali wawasan tidak hanya tentang kondisi kehidupan persahabatan anggota Laskar Pelangi. Tidak hanya di Indonesia, Karya Andrea Hirata ini pun diterjemahkan menjadi The Rainbow Troops dalam Festival Film Internasional Berlin ke-59 (Berlinale 2009). Lewat film anak ini, sektor pariwisata Bangka Belitung mengalami peningkatan.

Termasuk film lawas punya tempat di hati masyarakat asal diselaraskan dengan perkembangan jaman bisa menjadi sangat menarik. Film Warkop DKI Reborn misalnya meraih rekor MURI film dengan penonton terbanyak dalam tiga hari penayangan. Film lawas lain seperti Ada Apa Dengan Cinta 2, Eiffle I’m in Love 2, Ayat-ayat Cinta 2 dan beberapa film horor ikutan membuat penasaran penonton. Sekian penilaian cetek saya.

***

Semakin tahun peluang peningkatan minat penonton terhadap film nasional sangat besar. Menurut Badan Pusat Statistik dari sektor ekonomi kreatif jumlah penonton meningkat pesat dari 16 juta penonton pada tahun 2015 menjadi 42,7 juta penonton pada tahun 2017. Namun, seiring itu pula para penggemar film akan semakin kritis terhadap suguhan tontonan. Disinilah tantangan para sineas untuk menciptakan sebuah film yang kaya rasa. 

Dan sebagai penonton, yakin para sineas bisa memenuhi ekspetasi penonton akan film berkualitas-mendidik, menginspirasi, dan menambah wawasan. Film nasional punya banyak sumber ide untuk diangkat. Apalagi kita kaya akan sejarah, sumberdaya alam, terdiri atas beragam budaya bisa menjadi sumber inspirasi yang memperkaya cita rasa film nasional.

Selamat Hari Film Nasional!

*Posting status fb atas ijin pemiliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun