Mohon tunggu...
Erni Pakpahan
Erni Pakpahan Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan Swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Segelintir Kekhawatiran di Sela Kemajuan Pertanian Daerah Kami dan Perjanjian Rotterdam

17 Januari 2018   08:49 Diperbarui: 17 Januari 2018   08:57 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara dingin semakin terasa tatkala mobil yang saya tumpangi melewati Parapat menuju Tapanuli. Saya langsung mengenakan jaket yang sengaja saya sisihkan sejak akan berangkat. Lumayanlah menghalau udara dingin sepanjang jalan.

Lagi, Desember (akhir tahun) lalu musimnya hujan turun membasahi bumi. Sepanjang jalan pada lahan-lahan pertanian dan pemukiman warga tanah terlihat lembab. Lahan basah ditumbuhi anak padi yang akan panen di bulan Maret atau Juni tahun ini. Pada lahan kering terdapat aneka tanaman muda dan pohon kopi seakan ikut kedinginan diguyur hujan terus-menerus.

Paling menggiurkan lahan tanaman jeruk yang siap panen. Beberapa kali selama liburan, saya turut menyicip jeruk manis yang kami dapat langsung dari lahan pemiliknya. Tak harus ke pasar dulu seperti sediakala jika kami ingin mengonsumsi buah yang satu ini.

Perubahan ini merupakan bentuk kemajuan pertanian di daerah kami. Dulu sekali komoditi utama pertanian sebatas tanaman padi dan kopi. Jenis lahan dan tanaman lain (cabe, tomat, jeruk, dll) masih sangat jarang. Jika pun ditanam rata-rata hanya untuk konsumsi keluarga saja.

Lambat laun lahan pertanian berkembang ramai bersama tanaman muda lainnya. Apalagi peningkatan pembangunan jalur transportasi sangat mendukung aktivitas pertanian. Warga pun semakin dimudahkan memboyong hasil pertanian ke pasar.

Saya tak ragu, perekonomian warga semakin meningkat. Terlihat dari rumah-rumah warga dan semakin banyak anak yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.  

Segelintir kekhawatiranapakah gerangan?

Pernah saya mendengar curhat colongan ibu-ibu tentang takutnya mereka pada makanan yang mereka konsumsi.

Bermula dari berbagai jenis penyakit dan hubungannya dengan pola konsumsi dan pengolahan makanan serta sumbernya.

Tak bisa dipungkiri berbagai bahan kimia pestisida dipakai pada tanaman demi meningkatkan kualitas hasil pertanian dan mengusir hama tanaman. Pupuk sintesis dan pestisida mereka gunakan mengingat lahan pertanian semakin luas dan jumlah tanaman yang harus diurusi semakin banyak.  

Belum lagi musim penghujan tiba membuat tanaman mudah terserang hama. Mau tidak mau untuk melindungi tanaman, jumlah pestisida yang digunakan semakin besar. Jika tidak daun dan buah cabe bisa keriting, sayuran busuk, bunga gugur hingga buah berjamur yang berujung pada gagal panen.

Sementara dulu, andalan utama warga dalam memelihara tanaman sayuran konsumsi keluarga ialah kompos atau pupuk organik. Memperoleh kompos cukup mudah, dari pembusukan tanaman, kotoran hewan, dan lumpur endapan.

"Pestisida pada saat disemprotkan akan lengket menutupi permukaan tubuh tanaman (daun, batang, buah). Ketika hujan datang, pestisida ini masih melengket, hama pun tidak bisa menembus ke permukaan tanaman atau menjauh dari wilayah pertanian karena tidak menyukai aromanya (Koreksi jika saya salah-begitu yang saya ingat dari buku kimia organik). Pestisida sebagian akan masuk ke dalam tanah saat penggunaan begitu juga ke udara dan perairan. Berpotensi terkontaminasi pada spesies lain, termasuk manusia."

Ck! Pikiran ini pun ikut-ikutan terusik.

PerjanjianRotterdamStockholm dan Potensi Penelitian

Ketakutan para ibu itu menurut saya tidak berlebihan. Bahan kimia tersebut terutama pestisida, di lain sisi memiliki sifat persisten. Senyawa POPs(Persisten Organik Pollutants) bersifat racun, sulit terurai, bioakumulasi dan terangkut melalui udara, air, dan spesies. Ketika terkonsumsi bisa tersimpan dalam tubuh dalam jangka lama, menyebabkan berbagai  macam penyakit: terjadi mutasi gen, kecacatan, kanker, dll.

Beruntungnya, kita ikut sebagai salah satu negara yang meratifikasi konvensi Rotterdam. Konvensi ini tentang prosedur persetujuan atas dasar awal untuk bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu dalam perdagangan internasional. Tepat pada 11 September 1998 kita menandatangani serta berlaku sejak 24 Februari 2004. Ratusan negara sudah men-sahkan konvensi ini. Melalui konvensi Rotterdam, ada informasi jelas dalam siklus perdagangan bahan kimia dan pestisida. 

Pada konvensi Rotterdam ini ada beberapa bahan kimia yang dilarang, dibatasi dan diberi informasi formulasi pestisida yang berbahaya (juga bahan kimia yang digunakan dalam industri).

Sejalan dengan hal ini, senyawa berbahaya ini terdapat juga dalam perjanjian Stockholm tentang senyawa POPs. Sebuah perjanjian dimana kita bersama negara-negara lain sepakat melarang, mengurangi, dan membatasi produksi dan penggunaan bahan pencemar organik yang persisten. Bidang pertanian, wilayah dimana beberapa bahan organik persisten ini diterapkan. Kerap dipakai sebagai pestisida mengusir hama pada tanaman.

Senyawa POPs tersebut di antaranya ialah Dichloro-diphenyl-trichloroethane(DDT), Aldrin, Endrin, Dieldrin, Chlordane, Heptachlor, Mirex,dan Toxaphene. Dieldrin misalnya sampai saat ini masih bisa digunakan dalam pelaksanaan pertanian namun sudah dihentikan dalam kegiatan produksi. Senyawa Aldrin pun masih digunakan sebagai insektisida dan ektoparasitisida lokal.

Dua perjanjian yang sudah kita sepakati bersama yang patut diberi perhatian lebih. Sejauh kita masih membutuhkan serta memberikan keuntungan kita belum bisa terlepas dari paparan bahan kimia dan pestisida berbahaya tersebut. Apalagi menyandang status sebagai negara berkembang masih terbatas untuk mengawasi bahan kimia dan pestisida yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Di samping itu bisa dibilang, kita memiliki peluang besar bidang penelitian untuk menemukan bahan pengganti lain yang lebih ramah terhadap kesehatan manusia serta lingkungan. Kalau pun belum menemukan bahan substitusi, penanganan sesuai cara-cara penanganan yang baik dan sewajarnya bisa menjadi salah satu cara mengurangi penyebaran dan dampaknya. Belum lagi, bidang pertanian akan terus-menerus meningkat ke depan.

Pada saat menulis ini saya mengingat bagaimana cara orangtua saya mengusir kutu-kutu beras yang kerap membuat kerajaannya di dalam goni berisi beras. Memasukkan potongan-potongan cabai di atas beras sebelum menutupnya. Kata mereka lebih aman menggunakan cabai dibandingkan bahan lain yang tidak mereka kenali. Contoh nyata kekwatiran pada bahan-bahan kimia yang tidak mereka kenali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun