Mohon tunggu...
Erni Pakpahan
Erni Pakpahan Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan Swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati "Senandung Ibu Pertiwi" di Galeri Nasional

30 Agustus 2017   12:24 Diperbarui: 6 September 2017   12:36 2654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni lukis itu, selain indah bisa juga menyuarakan berbagai hal. Gambaran alam, budaya, religi, politik, abstrak hingga kondisi baik atau buruk. Setelah dituangkan di atas kanvas menurut cita rasa masing-masing pelukisnya memiliki nilai dan seni tinggi. Berdasarkan pengalaman dan imajinasi yang telah digodok dalam pikiran pelukisnya. Pula dikecap menurut selera pribadi yang menyaksikan.

Weekend minggu lalu, pada hari Sabtu saya bersama empat Kompasianer berkunjung ke Galeri Nasional. Lokasinya tepat berseberangan dengan Stasiun Gambir.

Bulan ini, seperti tahun kemarin koleksi lukisan Bung Karno di istana-istana kepresidenan dipindahkan sementara. Tahun kedua di mana khayalak ramai dapat leluasa menikmati secara langsung. Maka jangan heran, sejak saya tiba kira-kira pukul sepuluh sudah banyak pengunjung disana.

Setelah melakukan pendaftaran dan meninggalkan tas di ruang penitipan, bersama-sama kami menuju pintu utama. Penjagaan ketat terasa karena pengunjung wajib menitipkan tas. Hanya boleh membawa ponsel dan dompet. Itu pun saya masih ditanya juga sama petugas apa ada alat make up atau parfum di dalam dompet.

Tahun ini tema yang diangkat yaitu "Senandung Ibu Pertiwi". Sebanyak 48 lukisan koleksi Bung Karno dipajang rapi di dinding ruangan menurut urutannya. Lukisan pemandangan alam, fenomena kehidupan sehari-hari, serta berbagai kegiatan masyarakat merangkum kehidupan di nusantara bisa dinikmati. Rata-rata lukisan merupakan karya abad ke 19.

Proses pemeriksaan-Dokumentasi pribadi
Proses pemeriksaan-Dokumentasi pribadi
Lembaran Cerita Sang Kolektor Lukisan

Kami memasuki sebuah ruangan khusus berkisah tentang Bung Karno, para pelukisnya, sejarah terbentuknya galeri nasional hingga moment pameran hari itu berlangsung.

Tidak diragukan lagi, Bung Karno pasti berjiwa seni tinggi. Kegemarannya di bidang seni terlihat melalui koleksi lukisan tersebut. Lukisan naturalis termasuk aliran Mooi Indie merupakan lukisan favorit beliau. Misalnya, karya-karya Basoeki Abdullah (Pantai Flores, Nyai Roro Kidul, Djika TuhanMurka), Lee Man Fong (Pendjual Sate), dan Dullah.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Saya sempat membaca selembar artikel menarik berjudul Dezentje, Pelukis yang Diburu Bung Karnodalam Warkat Berita Bung Karno edisi khusus. Cukup memberi gambaran akan kegemarannya pada lukisan. Bahkan, sampai memburu pelukisnya seperti Dezentje. Karya beliau yang hadir di sana berjudul "Sebuah Pemandangan di Sudut Kota Jakarta" dan "Sungai Musi di Palembang".

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Suara "Terang Bulan" Memanggil Saya Pulang

Dari semua lukisan---tentu saja saya sangat mengagumi semua lukisan itu, saya paling terpikat oleh lukisan Terang Bulan. Karya Wen Peor, pelukis poster dan ilustrasi buku tahun 1940-1950an. Entah, dia mengerahkan semua daya dan upaya atau malah hanya sedikit saja. Jika menurut pengalamannya sendiri mungkin saja beliau menggambar begitu fasih. Wen Peor menghasilkan karya yang sangat bagus.

By Moolight mewakili pengalaman sebuah pedesaan dimana keadaan takluk di bawah cahaya bulan dan suara anak-anak. Lukisan yang mewakili pengalaman saya dimasa kecil. Saya baru menyadari dalam lukisan itu ternyata ada sekelompok anak sedang bermain di bawah terang bulan. Saya perhatikan lagi ketika tiba di rumah. Mereka sedang melakukan permainan tradisional.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kamu juga pernah bermain di bawah terang bulan? Saya iya, sering. Bermain di bawah sinar bulan kami nanti-nantikan sepanjang musim kemarau. Beragam permainan tradisional yang kami lakukan, Mardatu Husip (Dukun Berbisik), Margala Tingko, Marsilelean Dua.

Sekarang semua tinggal cerita yang sudah lama terlupakan. Namun, Terang Bulan seakan memanggil saya pulang ke masa lalu. Tidak tanggung-tanggung, salah satu koleksi lukisan istana. Salah satu kekayaan budaya kita. Permainan tradisional yang mereka mainkan, permainan yang juga pernah kami lakukan. Ah, saya lupa apa namanya! Main ular-ularan, kalau tidak salah.

Karya serupa yang mungkin saja tidak kembali seperti sedia kala menurut saya misalnya karya Itji Tarmizi (Lelang Ikan), karya Ernest Dezentje (Sungai ciliwung), Menggaru Sawah di Jawa  karya Romualdo Locatelli. Sebagian telah digeser oleh kemajuan teknologi dan (peningkatan) budaya baru.

Para wanita berkebaya juga, jika dulu kebaya sebagai simbol identitas derajat, sekarang bisa dikenakan oleh siapa saja. Lukisan merekam itu semua, sesungguhnya kita kaya akan alam, budaya, pemikiran, dan keberanian.

Kelak rentetan nama-nama baru akan muncul dengan karya luar biasa bercerita tentang keindahan dan kekayaan kita saat ini, yang juga akan berubah pelan-pelan. Bisa saja akan lebih baik atau tergerus tak terurus.

Walaupun para pelukis sudah dicampuri oleh pemikiran dari luar--beberapa di antara mereka berangkat ke berbagai negara, belajar langsung kepada pelukis-pelukis ahli. Karya-karya indah disana menurut saya adalah sebentuk pengenalan mereka terhadap bangsa sendiri. Saya setuju dengan pernyataan ini, mengenal bangsa sendiri adalah bagian mengenal diri sendiri.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kira-kira seperti itulah pengalaman baru yang saya peroleh dari kunjungan ke galeri nasional. Menyenangkan? Tentu saja. Selain koleksi lukisan ada juga koleksi fotografi yang membuat diri tertegun. Dari mereka para penangkap momen pada sudut pandang sederhana menghasilkan foto-foto nan indah. Serta ada pula oleh-oleh khas nusantara yang unik dan mengesankan yang bisa dibeli.

Bagi kamu yang belum berkesempatan menyaksikan karya tangan para pelukis hebat di Galeri Nasional, mudah-mudahan cerita pengalaman saya ini memberi sedikit gambaran. Sebelum menyaksikannya suatu hari nanti. Terimakasih sudah memberi kesempatan melihat kekayaan nusantara kepada Pemerintah, Seniman, Budayawan, Kompasiana dan siapa saja yang terlibat.

#Salam hangat dari anak yang sedang belajar mengenal bangsa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun