Seni lukis itu, selain indah bisa juga menyuarakan berbagai hal. Gambaran alam, budaya, religi, politik, abstrak hingga kondisi baik atau buruk. Setelah dituangkan di atas kanvas menurut cita rasa masing-masing pelukisnya memiliki nilai dan seni tinggi. Berdasarkan pengalaman dan imajinasi yang telah digodok dalam pikiran pelukisnya. Pula dikecap menurut selera pribadi yang menyaksikan.
Weekend minggu lalu, pada hari Sabtu saya bersama empat Kompasianer berkunjung ke Galeri Nasional. Lokasinya tepat berseberangan dengan Stasiun Gambir.
Bulan ini, seperti tahun kemarin koleksi lukisan Bung Karno di istana-istana kepresidenan dipindahkan sementara. Tahun kedua di mana khayalak ramai dapat leluasa menikmati secara langsung. Maka jangan heran, sejak saya tiba kira-kira pukul sepuluh sudah banyak pengunjung disana.
Setelah melakukan pendaftaran dan meninggalkan tas di ruang penitipan, bersama-sama kami menuju pintu utama. Penjagaan ketat terasa karena pengunjung wajib menitipkan tas. Hanya boleh membawa ponsel dan dompet. Itu pun saya masih ditanya juga sama petugas apa ada alat make up atau parfum di dalam dompet.
Tahun ini tema yang diangkat yaitu "Senandung Ibu Pertiwi". Sebanyak 48 lukisan koleksi Bung Karno dipajang rapi di dinding ruangan menurut urutannya. Lukisan pemandangan alam, fenomena kehidupan sehari-hari, serta berbagai kegiatan masyarakat merangkum kehidupan di nusantara bisa dinikmati. Rata-rata lukisan merupakan karya abad ke 19.
Kami memasuki sebuah ruangan khusus berkisah tentang Bung Karno, para pelukisnya, sejarah terbentuknya galeri nasional hingga moment pameran hari itu berlangsung.
Tidak diragukan lagi, Bung Karno pasti berjiwa seni tinggi. Kegemarannya di bidang seni terlihat melalui koleksi lukisan tersebut. Lukisan naturalis termasuk aliran Mooi Indie merupakan lukisan favorit beliau. Misalnya, karya-karya Basoeki Abdullah (Pantai Flores, Nyai Roro Kidul, Djika TuhanMurka), Lee Man Fong (Pendjual Sate), dan Dullah.
Dari semua lukisan---tentu saja saya sangat mengagumi semua lukisan itu, saya paling terpikat oleh lukisan Terang Bulan. Karya Wen Peor, pelukis poster dan ilustrasi buku tahun 1940-1950an. Entah, dia mengerahkan semua daya dan upaya atau malah hanya sedikit saja. Jika menurut pengalamannya sendiri mungkin saja beliau menggambar begitu fasih. Wen Peor menghasilkan karya yang sangat bagus.
By Moolight mewakili pengalaman sebuah pedesaan dimana keadaan takluk di bawah cahaya bulan dan suara anak-anak. Lukisan yang mewakili pengalaman saya dimasa kecil. Saya baru menyadari dalam lukisan itu ternyata ada sekelompok anak sedang bermain di bawah terang bulan. Saya perhatikan lagi ketika tiba di rumah. Mereka sedang melakukan permainan tradisional.
Sekarang semua tinggal cerita yang sudah lama terlupakan. Namun, Terang Bulan seakan memanggil saya pulang ke masa lalu. Tidak tanggung-tanggung, salah satu koleksi lukisan istana. Salah satu kekayaan budaya kita. Permainan tradisional yang mereka mainkan, permainan yang juga pernah kami lakukan. Ah, saya lupa apa namanya! Main ular-ularan, kalau tidak salah.
Karya serupa yang mungkin saja tidak kembali seperti sedia kala menurut saya misalnya karya Itji Tarmizi (Lelang Ikan), karya Ernest Dezentje (Sungai ciliwung), Menggaru Sawah di Jawa  karya Romualdo Locatelli. Sebagian telah digeser oleh kemajuan teknologi dan (peningkatan) budaya baru.
Para wanita berkebaya juga, jika dulu kebaya sebagai simbol identitas derajat, sekarang bisa dikenakan oleh siapa saja. Lukisan merekam itu semua, sesungguhnya kita kaya akan alam, budaya, pemikiran, dan keberanian.
Kelak rentetan nama-nama baru akan muncul dengan karya luar biasa bercerita tentang keindahan dan kekayaan kita saat ini, yang juga akan berubah pelan-pelan. Bisa saja akan lebih baik atau tergerus tak terurus.
Walaupun para pelukis sudah dicampuri oleh pemikiran dari luar--beberapa di antara mereka berangkat ke berbagai negara, belajar langsung kepada pelukis-pelukis ahli. Karya-karya indah disana menurut saya adalah sebentuk pengenalan mereka terhadap bangsa sendiri. Saya setuju dengan pernyataan ini, mengenal bangsa sendiri adalah bagian mengenal diri sendiri.
Bagi kamu yang belum berkesempatan menyaksikan karya tangan para pelukis hebat di Galeri Nasional, mudah-mudahan cerita pengalaman saya ini memberi sedikit gambaran. Sebelum menyaksikannya suatu hari nanti. Terimakasih sudah memberi kesempatan melihat kekayaan nusantara kepada Pemerintah, Seniman, Budayawan, Kompasiana dan siapa saja yang terlibat.
#Salam hangat dari anak yang sedang belajar mengenal bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H