Keluar dari Tol Cipali memasuki kota Cirebon bayanganku tentang jejeran jemuran udang dan aroma amis laut menguap begitu saja. Mengingat Cirebon dijuluki sebagai kota udang dan belum pernah ke Cirebon, terbersit di pikiran akan melihatnya saat menjelajah seharian disana. Apa yang kulihat ialah pintu-pintu gerbang atau gapura berupa candi bentar terbuat dari batu bata merah di banyak bangunan.
Tentang hari itu, Sabtu, 10 Juni 2017, ada banyak hal yang kami lihat dan alami sepanjang hari di kota Cirebon. Mulai dari cagar budaya kesultanan, kegiatan masyarakat, oleh-oleh makanan, batik khas Cirebon sendiri hingga merasakan kenikmatan kulinernya. Mari kuceritakan.
Rasa penasaran akan mengunjungi kota Cirebon menguasai sejak panitia KOTEKAtrip mengkonfirmasi kehadiranku. Alhasil aku tiba di titik kumpul Bendara Budaya Jakarta pukul 04.12 WIB. Pada pintu gedung Kompas Gramedia, seberang pos satpam, aku singgah menunggu sampai jadwal kumpul yang ditentukan.
Dengan mengendarai bus elf, hanya butuh empat jam saja mencapai kota Cirebon dari Jakarta. Lebih irit dua jam dari sebelumnya berkat Tol Cipali. Bersama Kompasianer dan Danamon, tentu saja empat jam itu tidak terlalu terasa. Celotehan tentang kuliner, oleh-oleh khas Cirebon dan persawahan di kiri kanan menyelingi perjalanan kami. Meski ada beberapa teman yang baru pertama kali bertemu, atas nama kompasianer seakan sudah kenal saja.
Aktivitas warga kota Cirebon mulai terlihat dari dekat ketika kami melewati pintu keluar Tol Cipali. Pertokoan, rumah warga, kantor dan bangunan lainnya kerap dengan candi bentar.
Dalam sebuah kerajaan benteng merupakan suatu lambang kekuatan. Jika benteng runtuh hancurlah kota sebab musuh bisa menyerang dengan mudahnya. Benteng di banyak tempat di Cirebon memperlihatkan potret masa kejayaan kesultanan Cirebon di abad ke 14. Letaknya yang strategis serta kaya akan hasil bumi seperti beras dan lada membuat Cirebon menjadi salah satu tujuan perdagangan internasional. Kejayaan ini pula amat terasa ketika menyambangi langsung Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Goa Sunyaragi bersama KOTEKAtrip (Komunitas Traveler Kompasiana) dan Bank Danamon.
Injakan pertamaku tepat berada di Bank Danamon Jl Kartini. Apa soal, Kru Danamon ingin memperkenalkan kecanggihan aplikasi financial technology D-Cash. Aplikasi ini dapat dipakai untuk melakukan tarik tunai tanpa menggunakan kartu ATM atau rekening di Bank Danamon. Ayoo... apa kamu terheran-heran sepertiku juga? Nanti ya kuceritakan lebih detail. Kita jalan-jalan dulu.
Setelah mengikuti briefing singkat di Islamic Center tidak jauh dari pintu masuk Stasiun Kota Cirebon, kira-kira pukul sebelas kami menuju ke Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Beberapa peserta menunaikan ibadah sholat disana. Mesjid ini merupakan bagian dari Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1500. Berseberangan dengan alun-alun Keraton Kasepuhan.
Keraton Kasepuhan: Keterbukaan dan Nuansa Kekayaan Budaya
Sejarah kota Cirebon menarik untuk didengar. Menyaksikan secara langsung membuat mudah dimengerti. Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1430. Keraton ini pula merupakan Keraton pertama yang berdiri di Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya merupakan Padepokan Pakungwati. Didirikan oleh Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) sebagai rumah tinggal bersama putri Kinasih Nyai Pakungwati, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara sepulangnya beliau dari Mekkah.
Syarif Hidayatullah anak Nyai Lara Santang (Syarifah Mudaim), adik Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyi Mas Pakungwati, putri Pangeran Walangsungsang dari Nyai Mas Endang Gelius.
Pada tahun 1479–1568 Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati. Berdirinya Keraton Kasepuhan tidak terlepas dari penyebaran agama Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah adalah Wali Sanga Sunan Gunung Jati, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Pada jaman pemerintahannya juga, ada sebuah peristiwa yang membuat Kesultanan Cirebon akhirnya lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran. Ini ada hubungannya dengan penyebaran ajaran Islam. Peristiwa itu ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Cirebon tepat pada 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi.
Secara keseluruhan Keraton Kasepuhan merupakan akulturasi dari budaya Jawa, China, Eropa, Hindu, Budha. Area Siti Inggil misalnya, budaya Jawa mendominasi bentuk padepokan dan tulisan Arab pada tiang dan dinding. Batu Lingga dan Yoni yang memberi makna kesuburan merupakan budaya Hindu. Masih di wilayah Siti Inggil, keramik pada dinding tembok pintu masuk mewakili budaya Cina.
Gaya Cirebon ditemukan pada bangunan Kutagara Wadasan dan Kuncung pada area utama. Pada dinding keramik-keramik budaya Eropa menambah semarak bangunan ini. Saya sebut dinding bercerita, sebab permukaan keramik memiliki lukisan dengan kisah yang diadopsi dari perjanjian lama dan baru (kitab Nasrani).
Keraton Kanoman: Titik Nol Kota Cirebon
Jelajah tidak berhenti sampai disitu saja. Keraton dengan sejarah bertautan dengan Keraton Kasepuhan juga kami kunjungi. Kami menyetop becak depan pintu masuk tadi menuju Keraton Kanoman. Walaupun hari terik dan bulan puasa, kegiatan masyarakat tampak berlangsung seperti biasa.
Dari atas becak, tampak pemandangan aktivitas warga. Penjual aneka barang kebutuhan sehari-hari, oleh-oleh (makanan dan kain batik) khas Cirebon. Ada juga penjual keramik kuno di sisi jalan. Rupanya, benda getas berbahan dasar tanah liat ini juga bisa ditemukan disini.
Melewati Pasar tradisional Kanoman, terlihat Keraton Kanoman, hanya puluhan meter dari pasar. Membayar lima belas ribu saja dari Keraton Kasepuhan kami sudah berada di wilayah Keraton Kanoman. Tapi jangan terkejut jika dimintai sedikit tip di akhir jalan oleh pengemudi.
Pada tahun 1678 Kesultanan Cirebon terbagi tiga sesuai dengan jumlah anak Panembahan Girilaya. Pangeran Martawijaya menduduki Keraton Kasepuhan, Pangeran Kertawijaya menguasai Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan dirajai Pangeran Wangsakerta.
Saat ini Keraton Kanoman dihuni keluarga Sultan Kanoman XII. Apa yang menarik disini? Menurutku ada empat hal.
Satu, kami diperbolehkan duduk di kursi Bangsal Jinem. Disebut juga dengan pendopo keraton, tempat ini dipakai untuk menerima tamu, upacara penobatan sultan, dan pemberian restu oleh sultan untuk acara perayaan.
Dua, titik nol (peletakan batu I) kota Cirebon berada di Keraton Kanoman. Ukur tingkat kebaikan, jika pas enam jengkal berarti dia orang baik. Hmn... jengkal jari tanganku kurang dari enam.
Tiga, ada empat sumur dan tiga sumur sebagai sumur keramat. Menghadap ke Utara di titik nol di sebelah kiri terdapat sumur pengasihan. Sumur ini paling banyak dikerumuni kompasianer. Jangan heran, Sumur Pengasihan dipercaya bisa memberikan jodoh dan awet muda.
Sumur kejayaan dipercaya memberikan keberhasilan atas usaha. Sumur pengantin paling keramat dengan cerita penghuni naga. Hanya aku, bu Muthia, dan mba Ira yang tertarik masuk ke dalam. Aroma air sumurnya seperti air berlumpur, beda dari sumur kejayaan tanpa aroma.
Empat, bertemu ratu dan raden cilik.
Menyepi di Goa Sunyaragi
Goa Sunyarangi disebut dengan taman air (1703M). Kami naik angkot menuju Goa Sunyarangi. Asal kata Sunya yaitu sepi dan ragi artinya raga, dari bahasa Sansekerta. Goa ini dipakai sebagai tempat orang penting keraton untuk bersemedi, tempat berkumpul dan berlatih semua pengawal Sultan, tempat membuat senjata tajam dan memberi wejangan oleh Sultan.
Goa identik dengan aliran air, Goa Sunyaragi dulunya disebut taman air namun lokasi ini sekarang sudah kering. Berluaskan 15 hektar, ada 12 goa menurut fungsinya masing-masing. Goa Bangsal Jinem, gua pengawal, komplek mande kemasan, Gua pandekemasang, Gua Simanyang, Gua Langse, Gua Peteng, Gua Arga Jumud, Gua Padang Ati, Gua Kelanggengan, Gua Lawa, Gua Pawon.
Smart Traveler, Saatnya Pegang Kendali Ikut Menjaga Wisata Berkelanjutan
What a experience bisa mengunjungi kekayaan sejarah bangsa kita. Sebagai wisatawan, saatnya pegang kendali turut menjaga wisata berkelanjutan. Begitulah pesan tersirat Pak Julianto Susantio. Di penghujung jelajah kami mendapat sekilas tentang peninggalan sejarah nusantara yang harus dijaga keberadaannya. Menghormati budaya dan menuruti peraturan yang berlaku itu sudah wajib. Contohnya, “Jangan sentuh” bukan sekedar larangan tetapi agar peninggalan sejarah tetap lestari, kelak dapat dinikmati oleh anak cucu kita.
Satu lagi, supaya aktivitas wisata lancar, saatnya pegang kendali pakai aplikasi D-Cash, apalagi jika wisata lokal ke daerah. Aplikasi D-Cash sudah ada sejak dua tahun lalu. Melalui fitur baru D-Mobile, pemilik rekening Bank Danamon dapat memberi uang khas kepada siapa saja. Asalkan ada nomor ponsel dan transaksi dilakukan di ATM berlogo D-Cash.
Yeah! Pas sekali jika ada kerabat tiba-tiba membutuhkan uang kas. Buat para traveler, aplikasi D-Mobile cocok digunakan mengingat tidak semua daerah wisata menerima pembayaraan online. Simak langkah-langkah di bawah:
Cara reservasi Ponsel D-Cash:
2.Informasi bagi Penerima:
Penerima Dana akan menerima SMS Notifikasi dari Danamon berupa informasi jumlah dana yang bisa ditarik di ATM Danamon berlogo D-Cash.
> Tekan tombol di samping layar ATM Danamon
> Pilih menu "Transaksi Tarik Tunai Tanpa Kartu",
> Masukan "No. Ponsel" penerima notifikasi,
> Masukan "Passcode" yang telah Anda terima dari pengirim,
> Pilih "Jumlah" Nominal Yang Ingin Tarik Tunai,
> Anda akan menerima Kode OTP (One Time Password)yang Anda terima melalui SMS, Transaksi telah selesai.
> Silakan ambil uang dan bukti transaksi
4. Cara Pembatalan reservasi Ponsel D-Cash:
> Pilih "D-Cash" pada menu D-Mobile,
> Tampil riwayat"D-Cash/SosMed D-Cash /Ponsel D-Cash",
> Pilih"Riwayat Ponsel D-Cash",pada riwayat"D-Cash/SosMed D-Cash /Ponsel D-Cash",
> Pilih reservasi yang akan dibatalkan
> Konfirmasikan pembatalan reservasi Ponsel D-Cash dengan mPIN
> Penerima Ponsel D-Cash akan menerima SMS notifikasi pembatalan
5. Syarat Ponsel D-Cash :
> Masa berlaku tarik tunai adalah 2 (dua) jam.
> Batasan per reservasi 100--500 ribu
> Limit transaksi 1 juta/hari.
Kompasianer, mudah kan?
Kembali ke Jakarta melintasi Tol Cipali, kami tiba tepat waktu di Jakarta (23.00 WIB). Rasa lelah terbayar menelusuri tiga lokasi wisata/cagar budaya. Juga menikmati kuliner dan oleh-oleh di kota ini. Tahu genjrot yang wenakk dan dompet batik menambah koleksi dompet batik dari Yogyakarta dan dompet khas Batak dari Danau Toba. Sewaktu di toko oleh-oleh, aku baru nemu berbagai olahan makanan, udang, terasi, sambal dan banyak makanan khas Cirebon lainnya. Ceritaku panjang sekali. Kiranya menjadi informasi bermanfaat bagi kompasianer. Ayo pegang kendali menjadi Smart Traveler.
Twitter : https://twitter.com/ernichem
Facebook : https://web.facebook.com/erni.pakpahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H