Undangan para pemilik stand dan gerobak begitu ramah ingin rasanya mencoba banyak makanan. Aroma olahan berbagai makanan pun begitu menggoda membuat semakin ngiler, tak sabar ingin mencoba. Ada sebanyak 200 lebih menu pilihan yang dapat dinikmati kelezatannya. Dari sekian pilihan, saya membulatkan hati memesan mie godog.
Pulang sebelum memanjakan lidah dengan mie tentu belum klop dong. Kenapa? Karena salah satu tujuan food festival tahun ini ialah melestarikan “Aneka Mie Nusantara”. Bahkan, disini pun ada acara “Kompetisi Pemenang Mie Warisan Nusantara” dari tiga pemilik UKM di kawasan Jabodetabek.
Sedikit informasi, godog artinya rebus. Mie godog berasal dari pulau Jawa, khususnya Jogja. Sekilas melihat mie dalam wadah kertas di hadapan saya dan antrian pembeli, meyakinkan saya tidak salah pilih.
Mie dalam wadah kertas di hadapan saya berbahan dasar mie kuning basah dan warna-warni sayuran dari wortel, sawi, timun, kol, cabai rawit. Berkuah kental, bertabur bawang goreng serta irisan tebal seledri menambah rasa gurih di lidah sejak suapan pertama. Warna-warni dari sayuran membuat diri ingin segera mencicipi. Tapi tunggu dulu... Saya harus jepret sebelumnya sebagai bukti nyata kepada pembaca. Begini penampakan mie godog pilihan saya ;)
Mie godog ini saya peroleh dari Booth B14 Mie Jowo Semar. Dari tiga daftar jenis mie dalam booth ini pilihan saya jatuh pada mie godog. Nah, bersebelahan dengannya, sebelah kanan, ada tiga booth berjejer. Mereka pemenang kompetisi mie warisan nusantara kategori halal dan non-halal. Ketiga pemenang ini diperlombakan lagi mendapatkan pelanggan sebanyak mungkin. Mereka adalah Bakmi Ayam Pelangi (B15), Cwie Mie Malang “Regia” (B16), dan Clift Noodl Bar (B17). Kategori B17: Clift Noodle Bar satu-satunya kategori non-halal.
Pilihan kedua jatuh pada sate lilit ayam. Appetizer sebelum menikmati mie godog. Saya temukan di Booth 37: Masakan khas Bali warung khas Nyoman. Tertutup dalam tudung saji tembus pandang beralaskan daun pisang segar sungguh memikat hati dan kebersihannya pun terjaga. Padat, empuk, dan rasa “kriuk” dari parutan kelapa sanggrai turut meramaikan kunyahan. Tiga tusuk sate seharga Rp. 21.000 sangat memuaskan. Aneka ragam rempah nusantara dalam satu gigitan memanjakan lidah.
Kembali ke tempat semula, berbagai makanan khas sesuai selera masing-masing kami nikmati usai berkeliling. Dan tanpa terasa makanan sudah lenyap sambil ngobrol! Makan memang salah satu cara jitu mencairkan suasana. Maka tidak heran para politikus, bisnismen, kolega, teman tidak jarang melakukan acara ramah-tamah melalui makan bersama karena makanan bisa membuat pikiran semakin jernih.
Masih Ngider Sekali Lagi