Pertama, saya belumlah seorang penikmat buku, apalagi buku di bidang anak. Kedua, meski saya bukanlah ahli anak tetapi ada sebuah cerita saya tentang buku anak. Beginilah ceritanya, suatu saat seorang teman begitu bersemangat menjelaskan tentang buku anak yang dibacanya kepada saya. Dia menjelaskan betapa kagumnya dia dengan tulisan penulis tersebut.
Ada dua alasan yang membuat dia begitu kagum. Pertama, penulis buku tersebut menurut dia sudah menemukan passionnya. Kedua, dengan passion yang dia miliki penulis menuliskan buku mengenai dunia anak berdasarkan pengalamannya menghadapi orangtua banyak anak di Indonesia.
Aku mengernyitkan kening. Kernyitan tanda bingung dan protes dalam hati. Sebegitu pentingkah membaca buku mengenai anak di masa muda ini? Buku bidang lain yang lebih menarik saja sering malas saya baca. Apalagi buku mengenai anak yang sudah pasti diulas berdasarkan pengalaman, data, teori, hasil riset, dan hal lain yang membuat saya bisa lebih mengantuk lagi. Lagian, saya kan belum orangtua!
Kekeuh dia menjelaskan lagi. Katanya, suatu saat juga kita akan berhadapan dengan anak. Seperti jaman kuliah, walaupun jadwal ujian akhir semester masih jauh tetap saja harus dipersiapkan karena tak mungkin ujian ditiadakan. Kecuali kampus ditutup selama-lamanya sebelum ujian akhir semester tiba. Hanya, kemungkinan kampus ditutup sangat kecil terjadi.
Suatu saat, saya berkesempatan bergabung di sebuah komunitas bidang anak. Kesempatan itu mengharuskan saya harus belajar tentang anak. Salah satu kegiatannya membaca buku tentang anak dan membagikannya pada teman lain. Atas dasar “wajib membaca buku anak dan membagikannya” saya pun memaksakan diri membaca buku anak juga membagikannya.
Saya membaca ditemani oleh rasa kantuk, bingung, bosan, dll. Dan lambat laun, seperti lampu yang hampir putus mulai sedikit lebih terang tak jadi meredup. Saya angguk-angguk kepala. “Oh begini, oh begitu.”. Rupa-rupanya dalam keterpaksaan dan memaksakan diri ada faedahnya.
Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah buk-buku karya Ayah Edy. Sesuai cerita teman saya saat itu. Sekilas saya melihat buku ini memang buku teori. Sepertinya agak membosankan meski sampulnya sangat bagus (Dilengkapi anak yang riang gembira). Bukankah ada pepatah, “Don’t judge a book from its cover.”?
Ternyata saya salah. Sampulnya yang menarik itu mewakili isinya juga. Buku ini mengulas bagaimana sebagai orang tua mampu mengenali anak dengan benar. Mengenali anak menurut karakter, potensi, minat, bakat sejak dini. Setelah itu, membekali anak sesuai bakat/minat/potensi/karunia.
Tak lupa rela menolong anak berkembang sesuai dengan potensi anak tersebut. Bukan membentuk anak sesuai keinginan orangtua. Prinsipnya adalah kuat dari keluarga (Strong from home). Semua itu dilakukan pertama kali di dalam keluarga. Anak sehat jasmani dan rohani bukan di sekolah, di homeschooling, di tempat ibadah, di tempat les, atau di tempat penitipan anak tetapi di dalam keluarga.
Buku yang dikemas dengan untaian kalimat ringan dan padat ini pun sangat aplikatif. Hal penting bagi saya buku ini dikemas seringan mungkin dengan bahas ringan. Saya pun tak jadi menutupnya sebelum selesai membacanya. Dalam beberapa kasus, isi buku ini juga dilengkapi berdasarkan pengalaman banyak orangtua, terutama orangtua di Indonesia.
Beberapa contoh #1
Kalau dulu pada masa saya masih anak, saya seringkali mendengar kata “jangan” dari orangtua.
“Jangan ribut kalau kita kedatangan tamu.”
“Jangan mandi hujan, nanti sakit.”
“Suaranya jangan keras-keras.”
Anak dalam buku ini jarang mendengar kata “jangan”
“Kalau ada tamu yang sopan ya, nak.”(Aku tetap bisa bergabung, berbicara atau bergerak kesana sini asal sopan.”
“Boleh mandi hujan asal bentar aja biar gak sakit nantinya.” (Horeee, ayo main hujan.)
“Ssst...” (Tutup mulut sendiri. Ribut saya keterlaluan-sadar sendiri)
Selesai membaca beberapa buku ayah Edy saya mencoba membaca buku lain. Masih membaca buku anak karena sudah kewajiban. Saya beralih ke sebuah buku berjudul “Berbicara agar remaja mau mendengar dan mendengar agar remaja mau berbicara”. Buku karya Adele Faber dan Elaine Mazlish.
Buku ini cocok sekali untuk orangtua yang memiliki anak remaja. Dalam buku tersebut dijelaskan cara-cara menghadapi anak remaja sesuai dengan perkembangan dan jaman mereka. Satu lagi khusus untuk anak kecil (anak di bawah remaja) tersedia dalam bentuk bahasa inggris. Buku ini memberikan penjelasan dan cara-cara bagaimana menghadapi anak.
Beberapa contoh #2
- Mengakui perasaan anak
- Mengakui apa yang dialami anak pada kondisi tersebut. Alih-alih bertanya mengapa seorang anak murung, “Kenapa kamu sedih?”
- Lebih baik mengakui perasaannya dengan bertanya, “Kamu sedih, ya?”. Pertanyaan seperti itu membuat anak merasa dimengerti sehingga dia mau lebih terbuka.
- Menyatakan perasaan pada anak
- Memberikan penjelasan mengenai perasaan kita pada anak. Alih-alih langsung memarahi anak karena melakukan kebohongan,“Dasar! Anak pembohong. Masih kecil-kecil* sudah bohong.”
- *Anak: berarti setelah besar bisa bohong dong, Ma/pa?
- Lebih baik menyatakan perasaan pada anak, Contoh, “Mama/papa sedih atau tidak suka kalau kamu berbohong.”
- Memberikan bahasa isyarat pada anak
- Pada saat anak sedang menyetel musik terlalu keras dari pada langsung mematikan musik atau mengatakan ,“Matikan musik itu!”
- Lebih baik berikan gerakan tangan seperti sedang menurunkan volume dengan memutar tombol radio/televisi.
Bagaimana dengan cerita/novel anak?
Cerita/novel anak dalam pemahaman dangkal saya tidak bisa mewakili menjadi bahan untuk mengenal dunia anak. Salah satu novel terkenal di Indonesia yang menceritakan tentang masa anak adalah karya Andrea Hirata. Tokoh dalam laskar pelangi ditulis semasa kecil mereka. Cerita ini mewakili kisah haru, bahagia, sedih dalam masa kanak-kanak mereka.
Novel Mockingbird karya Kathryn Ersine yang menceritakan pengalaman anak dalam masa kecilnya. Cerita tentang kehilangan seorang kakak laki-laki karena ditembak. Novel ini menceritakan dari sudut pandang anak kecil. Novel anak yang lain ditulis seorang psikolog, Torey Hayden berjudul Kevin berdasarkan kisah nyata. Kisah anak yang mengalami kekerasan, yang ingin membalaskan dendamnya pada orangtuanya. Beberapa novel ini menceritakan masa kanak-kanak dalam keseharian tetapi tetap berbeda dengan buku bidang anak.
Sementara buku anak dalam pemahaman dangkal saya menjelaskan tentang anak secara keseluruhan. Buku anak memberikan pemahaman bahwa anak adalah anak. Bukan alat tetapi anak. Anak dibesarkan sesuai perkembangannya. Mereka adalah anak, individu karunia Tuhan. Buku-buku ini membuat pembaca diajak mengenali, memahami, menghadapi, menanggapi, memperlakukan anak sebagai anak sehingga mereka bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi mereka.
Masih sedikit sekali yang saya pahami tentang dunia anak. Masih sangat sedikit juga yang saya baca. Tentunya, orangtua yang sudah pernah membesarkan anak juga orangtua biologis lebih tahu-menahu hal ini. Tetapi mengingat apa yang teman saya sarankan pada waktu itu membuat saya merasa harus meneruskan amanahnya itu. Supaya anjuran baik itu tidak tersangkut di saya saja maka saya tuliskan saja curahan hati ini. Sebab, saya merasa beruntung dia telah melakukannya pada saya saat itu.
Balik lagi ke pertanyaan di atas. Pentingkah pemuda/pemudi membaca buku tentang anak? Pemuda/pemudi meski belum memiliki anak biologis sebenarnya sudah disebut dengan orangtua. Kita wajib melindungi semua anak di Indonesia (Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014). Bahkan, kita wajib melindungi anak di dunia(Negara kita telah meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Supaya bisa menjalankan tanggungjawab sebagai orangtua menjaga dan melindungi anak maka kita harus mengenal dunia anak. Salah satu caranya adalah membaca buku tentang anak. Lagian, bukankah pada akhirnya kita akan berhadapan dengan anak? Atas dasar itulah menurut saya ada baiknya pemuda-pemudi yang berencana menikah dan memiliki anak harus menyertakan topik pembicaraan tentang anak dalam hubungan mereka.
Kalau dulu sebelum saya dipaksa dan memaksakan diri membaca buku anak, jawab saya adalah “Bolehlah, sesekali jika ada waktu.” lalu kemudian tidak akan pernah melakukannya. Tetapi sekarang jika pertanyaan ini ditanya pada saya maka jawab saya “Ya. Perlu sekali!”. Sepenting membicarakan pernikahan.
#Dariku anak muda yang masih belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H