Agustus! Bulan kemerdekaan Indonesia. Akhir Agustus lalu saya diajak seorang teman menghadiri sebuah acara malam kebudayaan di Bandung. Tepatnya tanggal dua puluh tujuh. Katanya, acara malam kebudayaan itu diadakan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia. Karena saya belum pernah berkunjung ke Bandung tanpa berpikir panjang akhirnya saya pun menyetujui untuk ikut serta. Dia menyampaikan, disana juga kami akan bertemu dengan dua orang temannya yang tinggal di Bogor dan Karawang.
Pada Sabtu pagi, 27 Agustus pukul 08.00 WIB kami pun berangkat dari Jakarta dengan bus. Perjalanan yang kami tempuh kira-kira hampir lima jam hingga di tempat perhentian bus yang kami tumpangi. Kata sopirnya jalanan macet karena pada saat itu ada pertandingan sepakbola di Stadiun Siliwangi.
Kami tiba di tempat yang kami tuju sekitar pukul setengah empat sore, lokasinya tidak jauh dengan Stadiun Siliwangi sementara acara dimulai pukul lima sore. Kami tiba sesore itu karena dari perhentian bus kami sempat berkunjung di Cihampelas Walk mencari makan siang.
Setiba di tempat acara, kami disambut hangat. Bahkan, saya bertemu dengan seorang teman dari Kupang. Kami bertemu disebuah acara di Jakarta pada Tahun 2013. Pertemuan itu mencairkan rasa segan saya saat itu juga (Ini pertama kali saya datang sementara teman yang mengajak saya dan dua orang temannya sudah pernah mengikuti acara yang sama).
Setelah berbincang sebentar kami dipersilahkan mandi dan siap-siap bergabung dengan yang lain. Mereka sedang bersiap-siap pada saat kami tiba di tempat itu. Kami dapati beberapa panitia sudah mengenakan pakaian adat daerah masing-masing.
Pukul lima sore kemudian kami ke ruang dimana jamuan makan malam disediakan sebelum acara dimulai. Acara dimulai setelah pembawa acara kemudian memberi aba-aba, dilanjutkan dengan pembukaan dan kata sambutan dari panitia juga pengurus. Lalu tibalah pada acara presentasi makanan khas daerah.
Perwakilan Bandung mempresentasikan karedok khas Sunda. Sekilas makanan itu seperti gado-gado. Sayuran kemudian dilumuri kuah kacang. Setelah kami cicipi “Rasanya pedas dan mirip sekali dengan gado-gado.” Saya setuju dengan teman yang mengajakku kesini.
Dari Sulawesi Tengah diwakilkan daerah Poso yang menyediakan bebek bumbu rw dan brenebon. Dari Sulawesi Selatan menyediakan tipang dari ketan hitam dan depatori dari beras ketan. Makanan ini sudah saya kenal sejak kecil. Bedanya, tipang dari Sulawesi Selatan lebih hitam dan lengket karena dibuar dari ketan hitam. Tipang dari tempat asal saya terbuat dari nasi biasa (padi yang ditanam di darat). Ukuran butir berasnya lebih besar dibandingkan beras ketan hitam.
Perwakilan dari Rote tidak hanya membawa makanan, alat musik Sasando ikut serta. Hanya alat itu tidak sempat dimainkan karena waktu yang terbatas. Palu sulawesi Tengah mempertunjukkan Kaledo (kaki lembu donggala), uta dada (dada daging ayam) dan sambal roa (sambal yang dibuat dari ikan sori yang diasapkan). Manado, Sulawesi Utara menyediakan bubur manado, sambal ikan sori, batata pake sambal dabu.
Perwakilan dari Kupang, Nusa Tengara Timur membuat jagung bose dan kue rambut.
“Makanan ini terdapat paling banyak di Amarase salah satu Kabupaten di Kupang.” Jelasnya saat mempersentasekan sambil mempertunjukkan kepada peserta. Teman saya yang sudah kenal di Jakarta dulu ikut berdiri mempersentasikan makanan khas daerah mereka.
Setelah mencicipi jagung bose, rasanya empuk dan ternyata tidak sepenuhnya terbuat dari jagung saja. Jagung bose diolah dengan mencampur jagung kering yang telah ditumbuk dan kacang tanah.
“Mengapa jagungnya tidak kuning?” tanyaku penasaran, “Jagung di kampung saya di Tapanuli berwarna kuning.” Kami berbincang saat acara cicip menyicip ragam makanan.
“Jagung di NTT ada dua macam. Satu berwarna kuning dan satu berwarna putih. Ini dipakai jagung berwarna putih kering lalu ditumbuk kemudian dimasak bercampur kacang.” jelas pemuda dengan pakaian adat NTT itu.
Sekarang aku mengerti. Lalu kami sermpat berbincang tentang daerahnya. Daerah dengan wisata sangat bagus, bunaken dan komodo yang terkenal seantero Indonesia bahkan dunia.
“Ya, datang saja ke NTT.” Dia tertawa dengan logat khasnya.
“Ya, mudah-mudahan...” kubalas dengan logat khas mendayu menirukan suaranya. Dan saya gagal menirunya.
Setelah acara makan kemudian dilanjutkan dengan malam kebudayaan. Acara selanjutnya singkat dan padat namun berkesan gambaran tentang kondisi Indonesia saat ini. Dari apa yang saya acara malam kebudayaan ini mengingatkan kembali bahwa negara Indonesia adalah negara yang terbentuk atas beragam suku, budaya, dan bahasa. Negara yang menjadi satu bukan karena seragam tapi karena perbedaan. Perbedaan yang disadari, diakui, diterima sebagai kekayakan yang saling mengisi satu sama lain sehingga menjadi kekuatan.
Ha! Aku bertemu sekaligus suku asli, makanan khas daerah dan pakaian adat mereka.
Malam itu, rasa bangga akan negara Indonesia dikuatkan lagi. Indonesia, negara dimana saya dilahirkan ini istimewa, kuat, kaya, dan makmur. Tak hanya cukup menikmati tapi ikut serta terlibat dalam pembangunan melalui bidang masing-masing.
Acara malam kebudayaan itu kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu-lagu daerah dari beberapa daerah di Indonesia seperti Sinanggar Tullo, Halo-halo Bandung, Mana Lolo Banda Rote, Ampar-ampar Pisang, ..., Gelang Sepatu Gelang.
Indonesia, Selamat hari Kemerdekaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H