Peristiwa penembakan peserta perkemahan Partai Buruh Norwegia oleh Andres Behring Breivik (32) yang menewaskan 76 jiwa merupakan bukti terbaru bahwa fanatisme terhadap agama merupakan hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut.
Agama lahir adalah sebagai sarana agar kehidupan manusia tidak kacau. Tidak bertindak semau sendiri terhadap yang lain. Dan seperti diketahui Breivik adalah seorang yang mengaku beragama Kristen. Saya teringat khotbah minggu beberapa waktu yang lalu bahwa fenomena sekarang adalah orang mengaku beragama tetapi tindak-tanduknya justru jauh dari cerminan orang hidup beragama.
Pada waktu dulu, saat Para Rasul (Murid Kristus Yesus) hidup mendampingi murid-murid mereka di Antokhia, pada saat itulah orang lain menamakan Para Rasul sebagai Kristen. Kristen artinya pengikut Kristus Yesus. Kenapa mereka disebut Kristen adalah karena kehidupan mereka sangat mencerminkan kehidupan pribadi Kristus Yesus. Mereka selalu mengajar kebaikan, melakukan hal-hal yang ajaib seperti menyembuhkan penyakit dan lain-lain.
Berdasarkan pengamatan orang terhadap kehidupan kitalah maka kita disebut orang beragama. Bukan sebaliknya, kita yang mengangsurkan diri kepada orang lain sambil memperlihatkan bahwa kita orang yang beragama. Bercuap-cuap tentang hal-hal yang dianut bahkan menyalahkan orang-orang yang tidak mau sejalan dengan kita.
Seperti kita pernah merasakan dampaknya, orang-orang yang sudah fanatik terhadap keyakinannya akan terus meningkatkan pemahamannya dengan menyalahkan orang di luar dia, titik tertingginya adalah membunuh orang yang berseberangan paham dengannya! Hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia ini, dan sekarang kita bisa lihat di Norwegia.
Lantas apakah kita tidak boleh fanatik terhadap keyakinan kita? Winston Churchill mengatakan "Seorang yang fanatik adalah orang yang tidak mau mengubah pemikirannya dan tidak mau mengubah apa yang dipikirkannya itu." Orang fanatik cenderung menganggap segala sesuatu yang menjadi bahan pemikirannya itu sudah final. Tidak akan berubah.
Padahal yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Kalau menilik pernyataan Allah kepada manusia, sesungguhnya ada tingkatan pemahaman yang diberikan olehNya. Pertama, ketika Allah menyatakan diri kepada Abram, Dia hanya meminta Abram meninggalkan segala kepunyaannya dan pergi ke suatu tempat. Pada masa itulah, Allah tidak menyatakan diri tetapi memberikan gelar kepada Abram yaitu Abraham.
Kedua, saat Musa diminta menuntun bangsa Yahudi keluar dari Mesir, Allah baru menyatakan dirinya sebagai "Aku." Dan pada saat Kristus mengajar, Allah baru memberitahukan tentang nama dan kuasaNya. Selalu ada tingkatan pemahaman untuk memahami Allah. Ada evolusi pemikiran. Jadi, orang yang berpikiran semuanya sudah final (dalam hal agama) kemungkinan besar keliru.
Bahkan, setelah Kristus Yesus naik ke surga pun, Dia mengatakan akan adanya Roh Kudus yang akan membantu manusia untuk memahami Allah. Dan paling akhir Dia mengatakan akan datang kembali sebagai hakim. Artinya, sesuatu yang final tentang beragama baru akan diketok palu nanti pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali. Begitulah kata Alkitab.
Lantas, bagaimana kita beragama saat ini? Tidak ada cara lain selain mengambil teladan dari tokoh-tokoh yang telah ditulis dalam kitab-kitab suci. Sebab mereka telah lolos sebagai orang baik di dunia ini. Meskipun dikatakan Abraham pun belum sampai di sorga, tetapi kita semua tahu Abraham hidup sebagai orang yang diberkati. Dan lain-lain tokoh pun begitu seperti Ayub, Daniel, Lot, Yohanes Pembaptis, dan (bagi saya) Kristus Yesus sendiri.
Tentang agama-agama di luar keyakinan kita bagaimana? Kristus Yesus pernah mengisahkan tentang orang Samaria yang baik. Artinya selama orang-orang beragama lain di luar keyakinan pribadi berbuat baik terhadap sesama, untuk apa di"singgung." Mereka pasti mendapat balasan juga atas kebaikan mereka.
Sekali lagi, fanatisme justru mencerminkan hal yang di luar dari agama yang dianut sebab tak ada agama yang menyuruh pengamalnya untuk membunuh orang lain, bukan?
Salam Damai,
Dedy Tri Riyadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H