Sebenarnya saya mulai tertarik dengan PKS (dulu PK) sejak masih duduk di kelas 2 SMK pada tahun 1999. Saat itu ingin sekali menyaksikan dan berinteraksi lebih dekat dengan kakak-kakak PK yang tampil cukup menawan dalam acara-acara politik di televisi.
Diri ini ingin sekali berkeliling kota Karawang dan mencari tahu posisi kantor partai itu berada. Namun, terasa ada jurang besar yang memisahkan antara saya dengan mereka. Saya takut mereka bertanya tentang jenis musik yang sering saya dengarkan, jumlah rakaat shalat tarawih hingga qunut yang selalu saya baca setiap shubuh.
Selain itu, sebelumnya saya punya pengalaman kurang menyenangkan. Saya pernah dipanggil dan disidang Ustadz Saman, guru mengaji waktu masih bersekolah di madrasah ibtidaiyah. Penyebabnya sederhana. Waktu itu saya mendapatkan sebuah bendera partai dalam sebuah kampanye di lapangan karangpawitan Karawang. Kampanye itu menghadirkan tokoh idola saya waktu itu Sang lokomotif reformasi HM Amien Rais. Nah, bendera putih dengan gambar matahari berwarna biru ditengahnya itu saya tancapkan dengan tiang bambu di depan rumah. Tepat di pinggir irigasi dan dapat dilihat dari segala arah.
Ustadz Saman marah dan mengingatkan tentang perbedaan mendasar NU-Muhammadiyah. Beliau meminta saya menurunkan bendera itu dan menggantinya dengan bendera lain. Bendera yang sama-sama berlatar putih tetapi dihiasai dengan gambar berwarna hijau. Terlihat lebih indah karena seirama dengan areal pesawahan yang sedang menghijau di belakang rumah.
Akhirnya saya gagal melakukan safari politik ke kantor Partai Keadilan karena tak ingin kembali di sidang oleh seorang guru yang sangat saya hormati itu. Hingga enam tahun kemudian saat ramadhan tahun 2005. Setelah melewati proses yang cukup rumit, akhirnya saya dipertemukan dengan komunitas itu dalam sebuah acara bertajuk tarhib ramadhan DPD PKS Kabupaten Bekasi. Pawai keliling kota menggunakan sepeda motor dan memberitahu masyarakat bahwa ramadhan yang agung sudah di depan mata dan layak disambut dengan suka cita.
Pawai itu mengambil rute dari pasar Cibitung dan berakhir di sebuah masjid di kawasan Industri Hyundai Cikarang Selatan. Start dari jam sembilan pagi dan berakhir tepat menjelang waktu dzuhur tiba. Disaat itulah saya merasakan bahwa PKS sangat plural. ketika adzan zuhur berkumandang dan orang-orang PKS berjejer dalam shaf-shaf sholat yang rapih. Dalam barisan shalat zuhur itu, ketika sampai di tasyahud awal. Saya menyaksikan pluralitas terpancar dari jari telunjuk. Ternyata mereka sepakat dalam perbedaan. Tak ada yang diributkan dalam perbedaan posisi telunjuk. Bergerak, diam, begerak diawal atau pertengahan.
Pluralitas berikutnya adalah plural dalam hal latar belakang kader-kadernya. Di PKS saya dipertemukan dan bersahabat dengan yang berlatar belakang Muhammadiyah, Persis juga Nahdliyin. Di PKS pula, saya yang lulusan SMK (kini sudah sarjana ekonomi kelas karyawan.. hehe) dipertemukan dan duduk satu majlis ilmu dengan alumni UI, ITB bahkan universitas Eropa dan Timur Tengah.
PKS : Partai Islam Paling Plural !!!
Salam Cinta Kerja Harmoni
@enjang_as
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H