Mohon tunggu...
Enjang Anwar Sanusi
Enjang Anwar Sanusi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

odapus jantan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Skill Individu vs Kolektivitas Tim

26 Juli 2013   14:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:00 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentetan kekalahan yang dialami tim nasional sepakbola Indonesia dalam beberapa pekan ini dengan tiga tim besar dari negeri Pangeran William mengingatkan saya pada sejarah panjang negeri ini.

Sejarah panjang negeri yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang lebih banyak mengandalkan skill individu. Para pemimpin yang selalu dikelilingi oleh puja-puji pada awal memerintah lalu dihujat dengan penuh caci maki pada saat turun dari kursi kepemimpinan nasional.

Pada masa awal kemerdekaan. Soekarno adalah pemimpin tiada cela. Seorang raja podium yang dipuja kawan juga disegani lawan. Ayah saya pernah bercerita, pada masa kecilnya di tahun enam puluhan, ketika ia masih berumur dua belasan tahun, Ia pernah menginap di emperan toko di pusat kota Karawang demi untuk menyaksikan pidato Soekarno di pagi harinya.

Namun kemudian, Soekarno terlalu sibuk dengan dirinya. Lalu muncul Soeharto sang penyelamat. Barisan mahasiswa penggedor orde lama ia jadikan raja-raja baru di berbagai bidang. Yang tak sejalan dengan prinsipnya menyingkir dari gelanggang atau berakhir dalam pencarian di puncak gunung.

Menurut guru ngaji saya yang alumni aktivis mahasiswa enam puluh limaan, Soe Hok Gie yang diperankan dengan sangat tampan oleh aktor Nicholas Saputra. Soe Hok Gie yang menjadi tokoh yang banyak disukai banyak anak muda masa kini serta buku catatannya banyak dicari itu, pada masanya adalah orang yang tak terlalu disukai khalayak ramai. Dianggap melenceng dari opini dan melawan keadaan. Mirip seperti Fahri Hamzah pada era ini.

Begitulah, akhirnya Soeharto bernasib seperti Soekarno. Ia terlalu sibuk membangun citra dirinya. Ia asyik bermain sendiri dan tak mempedulikan kolektivitas tim.

Lalu muncul nama Megawati serta Susilo Bambang Yudhoyono yang sepertinya bertipe serupa.

Entah siapa yang salah, tipikal masyarakat negara berkembang yang lebih menghamba pada ketokohan, media dan para peneliti serta petugas survey yang lebih menyodorkan ide-ide tentang tokoh diatas organisasi atau tokoh itu sendiri yang nyaman dengan posisinya.

Idealnya negara ini akan lebih maju jika pembangunan manusianya bertema kolektivitas tim. Seperti tiga tim besar yang datang menyambangi GBK. Mereka punya skil individu yang mumpuni. Tetapi mereka juga punya kolektivitas tim yang juga hebat.

Setahun menjelang pemilu legislatif juga presiden. Partai-partai dan juga pengamat lebih sibuk mencari tokoh. ARB-Golkar, Prabowo-Gerindra, Hatta-PAN, Paloh-Nasdem, Wiranto-Hanura, Megawati-PDIP dan tentu saja masih SBY-Demokrat.

Bagaimana nasib partai-partai itu selepas pemiliknya pensiun ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun