Langkanya persediaan minyak goreng yang ramai dikeluhkan masyarakat akhir-akhir ini, mengancam eksistensi salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia, "gorengan".
Siapa yang tidak kenal dengan makanan yang bernama pisang goreng, bakwan, bala-bala, singkong goreng, tahu goreng, hingga ayam goreng yang marak meramaikan per kulineran di tanah air.
Gorengan terbukti telah setia menemani keseharian masyarakat Indonesia, sejak pagi buta hingga larut malam, dari yang dihidangkan di warung pinggiran hingga grei bermerk di sudut mall megah.
Terlebih di bulan ramadan, bagi banyak kalangan, kehadiran gorengan menjadi menu 'wajib' saat berbuka puasa. Konon, menyantap gorengan lengkap dengan sambal pendampingnya, "terasa menyegarkan", hihi... padahal "gorengan" yah.
Saat stok berlimpah, obrolan serius seputar minyak goreng dan gorengan hanya sebatas kata-kata yang keluar dari  penasihat kesehatan.
"Jangan banyak makan gorengan, tidak baik buat kesehatan", atau "Kurangi konsumsi makanan yang digoreng, nanti kolesterolnya naik", dan ungkapan sejenis lainnya.
Nasihat para ahli kesehatan tersebut bukannya tidak diindahkan. Namun rupanya sudah terlanjur sayang sama gorengan hingga makanan berwarna kecoklatan itu tetap 'di hati'.
Hal ini bisa dilihat, bagaimana paniknya 'emak-emak' atau para pelaku bisnis seputar gorengan saat stok minyak goreng 'krisis'.... sebegitu pentingnya minyak goreng demi menghadirkan aneka hidangan berjuta penggemar.
Namun saya dari sejak dulu menangkap ada 'kejanggalan' dari olahan gorengan yang banyak disajikan dan kemudian sudah menjadi konsumsi masyarakat Indonesia sejak dahulu kala (mungkin) sampai sekarang yang saya ketahui.
Maaf...!, kandungan minyak dalam makanan gorengan yang ikut dikonsumsi, kayaknya berlebih.Â