"Kami bertujuan ingin segera mencapai 138 juta bantuan makanan, hingga kami bisa melanjutkan pekerjaan kami dengan pemerintah untuk memperbaiki situasi jangka panjang bagi orang lebih banyak lagi", ujar D'Pear.
"Namun, kami dihadapkan situasi sulit dengan pemicu yaitu konflik, krisis ekonomi akibat COVID dan perubahan iklim," sambungnya.
Dia juga menambahkan bahwa pekerjaan menjadi semakin sulit dengan berkurangnya anggaran untuk bantuan, karena pandemi COVID-19 ini.
Senada dengan D'Pear, kepala ekonom WFP, Arif Husain mengatakan kepada media, bahwa situasi sulit ini akan berpengaruh terhadap waktu yang diharapkan untuk memperbaiki keadaan.
"Ketakutan terburuk kami menjadi kenyataan. Untuk membalikan tingkat kelaparan kronis yang begitu tinggi akan membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun", kata Husain.
Laporan tersebut merekomendasikan kepada para pembuat kebijakan agar melakukan sejumlah tindakan untuk mencegah kekurangan gizi, seperti memasukkan kebijakan untuk kemanusiaan, pembangunan, dan penyelesaian perdamaian di daerah konflik.
Selain itu juga agar melakukan kebijakan untuk memperkuat ketahanan bagi kelompok yang paling rentan terhadap keterpurukan ekonomi, mengatasi kemiskinan dan ketimpangan struktural.
Setelah menurun selama beberapa dekade, kerawanan pangan telah meningkat kembali sejak pertengahan 2010-an, terutama di negara-negara yang terkena dampak konflik, iklim ekstrem, kemerosotan ekonomi, atau berjuang melawan ketidaksetaraan yang tinggi.
"Namun peningkatan tahun lalu (2020), sama dengan gabungan dari jumlah lima tahun sebelumnya", ujar Husain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H