Kepanjen - Kesenian Bantengan adalah salah satu warisan budaya tradisional khas Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pertunjukan ini memadukan unsur seni tari, musik, dan spiritualitas yang terinspirasi dari sosok banteng, binatang yang dianggap memiliki kekuatan besar dan keberanian. Dalam pertunjukan Bantengan, terdapat dua pemain yang mengenakan kostum banteng besar, lengkap dengan hiasan kepala tanduk, serta diiringi oleh kelompok pemain musik tradisional yang memainkan alat-alat seperti kendang, gong, dan saron.
Kesenian ini memiliki elemen magis yang kuat. Sebelum pertunjukan dimulai, biasanya dilakukan ritual atau doa agar para pemain diberkati dan terlindungi dari roh jahat. Ada juga unsur trance (kesurupan) di mana pemain bisa menunjukkan kekuatan atau gerakan yang di luar kebiasaan.
Selain menjadi hiburan, kesenian Bantengan juga sarat makna simbolik, mencerminkan nilai-nilai keberanian, kebersamaan, serta penghormatan kepada alam dan leluhur. Dalam konteks sejarahnya, kesenian ini lahir dari kehidupan masyarakat pedesaan dan sering dikaitkan dengan perjuangan melawan penjajahan.
Hingga kini, Bantengan masih dilestarikan oleh masyarakat Malang khususnya wilayah selatan, baik sebagai bentuk ekspresi budaya maupun sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda tentang nilai-nilai lokal dan kearifan tradisional. Kesenian ini kerap dipentaskan dalam acara-acara adat, perayaan keagamaan, hingga festival budaya, menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kesenian Bantengan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Kabupaten Malang. Dalam setiap pertunjukannya, Bantengan mencerminkan semangat heroik dan kekuatan, terutama dalam menghadapi tantangan hidup. Pertunjukan ini sering dipandang sebagai simbol keberanian dan perjuangan, terutama ketika dihubungkan dengan perlawanan rakyat terhadap penjajahan pada masa lampau.
Selain aspek spiritual dan magis, kesenian Bantengan juga mengandung unsur pendidikan moral bagi penonton. Melalui cerita-cerita yang dipentaskan, pesan tentang pentingnya persatuan, keberanian, serta pengorbanan untuk kepentingan bersama disampaikan. Pesan ini penting untuk generasi muda, agar mereka lebih mengenal dan menghargai budaya lokal, serta memiliki kebanggaan terhadap budaya leluhur.
Perkembangan zaman dan teknologi telah membawa perubahan signifikan dalam kesenian Bantengan, termasuk dalam aspek musik pengiringnya. Pada masa lalu, pertunjukan Bantengan selalu diiringi oleh musik tradisional gamelan, yang terdiri dari alat-alat seperti kendang, gong, saron, dan bonang. Gamelan tidak hanya berfungsi sebagai pengiring, tetapi juga memberikan suasana sakral dan magis dalam pertunjukan.
Namun, seiring waktu, beberapa kelompok Bantengan mulai mengganti gamelan dengan musik dari sistem sound yang lebih modern, seperti musik elektronik, keyboard, atau rekaman. Perubahan ini muncul sebagai respons terhadap keinginan untuk mengikuti selera generasi muda dan kemajuan teknologi yang mempermudah penggunaan musik digital. Musik sound system memberikan suara yang lebih kuat dan fleksibel, serta dapat disesuaikan dengan berbagai genre musik populer, seperti dangdut atau campursari.
Di wilayah kabupaten malang terdapat Puluhan grup bantengan mberot (istilah yang naik daun saat ini) yang berdiri. Salah satu yang bertransformasi menjadi bantengan mberot  yaitu  maheso putro dewolo (MPD) yang berasal dari desa ngadirejo dusun ndadapan yang ber anggotakan kurang lebih 40 pria dewasa, 2 tukang pecut bopo bayu dan bopo cemblek, 1 sesepuh mbah srewe (yang melakukan riual sebelum dan sesudah acara) dan di ketuai bapak Ahmad miftahudin alias pak dhen. Tak jarang bantengan mberot maheso putro dewolo tampil di acara pernikahan, bersih desa, atau acara adat lainnya yang diselenggarakan di daerah-daerah pelosok wilayah malang selatan.
Transformasi ini menuai pro dan kontra di kalanganmasyarakat dan pecinta kesenian tradisional. Di satu sisi, penggunaan sound system dianggap lebih praktis dan mampu menarik minat penonton muda, yang lebih familiar dengan musik modern. Di sisi lain, beberapa pihak merasa bahwa perubahan ini mengurangi keaslian dan nilai sakral dari kesenian Bantengan. Gamelan tradisional dianggap memiliki kekuatan spiritual tersendiri yang sulit digantikan oleh musik elektronik.
Meski demikian, kesenian Bantengan yang menggunakan sound system tetap mempertahankan inti dari pertunjukannya, yaitu nilai-nilai keberanian, kebersamaan, dan penghormatan kepada leluhur. Transformasi ini mencerminkan upaya adaptasi kesenian tradisional agar tetap relevan di tengah masyarakat yang terus berubah, sambil tetap menjaga esensi dari tradisi yang sudah ada. Tantangan ke depan adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara inovasi dan pelestarian nilai-nilai budaya yang asli.
Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H