Mohon tunggu...
Eni Simatupang
Eni Simatupang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Memiliki jargon "berpikir layaknya Einstein, berimajinasi layaknya Iwan Simatupang". Selalu berimajiner dengan hal-hal yang berbau Sastra, Jurnalistik, Film, Seni, dan Budaya. follow me @enisimatupang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Krisis Kemanusiaan, Polisi Kalahkan Tuhan (?)

24 Desember 2012   14:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:06 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lonceng mulai menelanjangi malam. Tibalah saatnya kaum nasrani merayakan hari besarnya. Berduyun-duyun menjamah gereja bersama sanak keluarga, memanjatkan doa kepada Sang Maha Penncipta. Mereka berimajiner dalam satu rasasuka, tanpa lara, tanpa duka, dengan mengharap damai dari penguasa jagad raya. Senandung doa yang terlantun memberikan ketentraman dan aroma surga kepada para pemeluknya. Dari garda depan gereja, terlihat beberapa aparat keamanan sedang menertibkan para jamaah dan berjaga.

“semoga semua gereja pada malam natal yang kudus ini dilindungi oleh Allah SWT agar umat kristiani khusyu beribadah. Amiin... Ya Rabbal ‘Alamin.” Demikian celoteh salah seorang pengguna facebook yang muncul di beranda saya.

Hal itu diungkapkan barangkali merupakan wujud dari keprihatinannya terhadap toleransi beragama di negeri ini yang semakin membuat orang mengelus dada. Bukan bermaksud untuk membicarakan satu pihak saja melainkan dari berbagai sudut padang yang sekiranya memang memberikan fakta bahwa keberagaman di negeri ini belum mampu dijembatani. Apalagi belakangan ini sering muncul kerusuhan antar suku, agama, ras, budaya dan lain sebagainya. Pun peristiwa tersebut seakan semakin menciptakan sekatidentitas dari masing-masing pihak.

Padahal, adanya keberagaman seharusnya dapat menjadi ikon kekayaan. Ketika keberagaman benar-benar bukan lagi nampak seperti gumpalan-gumpalan warna liar di langit lepas melainkan dilihat sebagai pelangi yang menghiasi putihnya langit, betapa mesranya dekapan Tuhan kepada kita. Seakan kita tak lagi mengharap surga di masa depan lantaran sudah tercipta “surga” pada kehidupan kita saat ini. Hal itulah yang kemungkinan akan menciptakan ketentraman, kenyamanan, kedamaian dari masing-masing individu sehingga mereka dapat melakukan aktivitasnya tanpa tekanan tetapi rasa aman. Terutama aktivitas yang mencerminkan komunikasi manusia dengan Tuhan, sebut saja Ibadah. Bukan lagi aparat keamanan yang menjaga diri mereka ,ketika hati dan pikiran sudah berserah lantaran rasa satu antar umat yang dimiliki benar-benar kuat.

Namun, sudah kah itu terjadi?

Sekilas mata memandang, di setiap perayaan hari besar (apapun hari besar dan kepercayaan/agamanya) pasti tidak lekang dari jamahan polisi. Ya, tugas mereka memang melayani masyarakat. Namun yang terjadi bukan lagi pada porsinya. Seakan-akan masyarakat tidak bisa aman tanpa polisi lantaran keberadaan polisi bukan hanya mengamankan dan atau menjaga ketertiban sewajarnya. Polisi berjaga-jaga barangkali ada serangan dari beberapa pihak terhadap perayaan yang akan digelar. Kemudian secara otomatis ibadah mereka tersugesti oleh keberadaan polisi. Jika polisi tidak berjaga, tidak ada rasa aman, sehingga suasana ibadah tidak begituhikmat. Begitu pula sebaliknya. Ketika polisi sudah siap berjaga, bahkan dua hari sebelumnya, maka ibadah berjalan dengan hikmat. Seakan porsi polisi dengan Tuhan tidak ada bedanya.

Jika kita tarik mundur ke belakang, esensi dari agama dan kepercayaan pastilah mengajarkan kebaikan termasuk rasa kemanusiaan.Saya yakin tidak ada satu pun agama yang menuntut umatnya untuk berbuat keji, jahat dan bahkan menyakiti sesamanya. Pun kembali pada esensi manusia sebagai makhluk sosial yang hidupnya saling membutuhkan. Begitu pula dengan kita yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pastinya bukan untuk saling dibedakan melainkan untuk saling melengkapi satu sama lain. Tuhan yang dianut memang berbeda, tetapi Tuhan satu. Tuhan mengajarkan kebaikan kepada para umatnya melalui ayat-ayat yang terkandung dalam kitab sucinya masing-masing. Singkatnya, manusia tidak perlu saling beREBUT kepercayaan untuk meRIBUTkan kebenaran karena hanya akan ada keRIBETan. Anggaplah benar yang kamu anggap benar tanpa menyalahkan kebenaran yang diamut oleh orang lain, dan berperilakulah dengan sebaik mungkin dengan apa yang kamu anggap benar tanpa merugikan orang lain.

#hidup ini indah dengan keberagaman, Kawan!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun