[caption id="attachment_223068" align="aligncenter" width="960" caption="salah satu sesi dalam FFD di TBY."][/caption] Desember ke Jogja! Itulah satu jargon yang kini tengah membakar semangat sineas muda di Yogyakarta. Menjelang tutup tahun, kota ini disibukkan oleh berbagai macam festival film. Jadwalnya pun padat merayap sehingga satu venue digunakan oleh lebih dari satu festival secara bergantian dan berturut-turut. Di antaranya adalah Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Festival yang konsen pada perkembangan film-film fiksi ini usai digelar di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 1 hingga 5 Desember lalu. Selang lima hari berikutnya, TBY kembali diramaikan oleh Festival Film Dokumenter (FFD) yang telah menggaet para pegiat film dokumenter hingga tanggal 15 desember. Usai FFD, Yogyakarta masih diramaikan oleh para pegiat film terutama kalangan pelajar. Mereka berbondong-bondong menuju Yogyakarta untuk berpartisipasi dalam Jogja Student Film Festival (JSFF) di lantai dua aula Kedaulatan Rakyat (KR) pada 16 Desember lalu.
Jargon serupa juga ada di kota Solo. Sebut saja Mei ke Solo. Jargon tersebut biasanya befungsi untuk meramaikan Festival Film Solo (FFS) dan Pesta Film Solo yang diselenggarakan hampir bersamaan. Pun mungkin masih banyak ikon penyemangat serupa di kota-kota lain dengan festivalnya masing-masing. Itulah gambaran betapa besarnya dukungan terhadap dunia perfilman, baik fiksi maupun dokumenter. Bukan hanya dari segi karya yang dihasilkan melainkan juga apresiasi masyarakat terhadap film tersebut. Pun dalam salah satu sesi pada masing-masing festival pasti menghadirkan nuansa internasional. Entah pembicara atupun film-filmnya. Dari sanalah diharapkan pemikiran para pegiat film terhadap perkembangan film itu sendiri tidak pragmatis tetapi lebih kreatif dan inovatif. [caption id="attachment_223056" align="aligncenter" width="403" caption="malam penghargaan JSFF 2012. para pemenang dan dewan juri."]
[/caption] Proses kreatif dan inovatif dalam berkarya terkadang menciptkan hal-hal baru kepada para pembuat filmnya. Kepuasan atas penghargaan yang diterima atau apresiasi dari penonton misalnya. Namun itu belum cukup untuk dapat dikatakan sebagai imbalan dari proses kreatif yang mereka lalui selama memproduksi sebuah film. Imbalan yang dirasa bisa menjadi standar adalah seberapa besar kontribusi dari film atau karya yang mereka hasilkan tersebut. Adakah perubahan sosial yang lebih baik setelah film tersebut diproduksi dan berhasil dipertontonkan di depan publik? Adakah manfaatnya? Sekedar terhibur kah para penonton itu? Atau memang ada hal-hal yang nantinya dapat mengadvokasi mereka? nampaknya hal-hal semacam itulah yang seharusnya terbesit dalam pikiran para pembuat film sebelum mereka melakukan proses produksi. Pun terkadang para pembuat film juga menemukan nilai-nilai dan pelajaran baru di sepanjang proses produksinya. Nah, jika nilai-nilai tersebut mampu dihayati dan diimplementasikan dengan baik, sepertinya film akan benar-benar menjadi media pembelajaran, baik dari segi tontonannya maupun selama proses produksinya. [caption id="attachment_223057" align="aligncenter" width="500" caption="pengarahan teknis saat proses produksi berlangsung."]
[/caption] Memproduksi sebuah film khususnya dokumenter tentunya memberikan bekas yang istimewa bagi para pembuat film. Ketika mereka ingin menyajikan sebuah tontonan kepada masyarakat, berbagai hal harus mereka pelajari terlebih dahulu. Mulai dari gagas tema, penjaringan ide, pembuatan desain produksi, dan segala hal yang berbau teknis. Diharapkan pembuat film lebih menguasai isu atau fenomena yang akan disajikan. [caption id="attachment_223059" align="aligncenter" width="500" caption="saat pengambilan gambar dari proses produksi yang saya lakukan bersama teman-teman."]
[/caption] Hal itulah yang saya rasakan bersama teman-teman komunitas saat melakukan produksi film dokumenter. Pada awalnya kami berimajiner dengan hal-hal teknis yang harus diperhatikan secara detail untuk merengkuh gambar dan alur cerita yang baik. Namun, di luar itu banyak hal yang dapat kami pelajari. dari sebuah fenomena yang kami angkat, biasanya timbul berbagai macam persoalan lain yang saling bersinergi. Masalah-masalah itu ada yang berhubungan dengan teknis, tetapi ada juga yang sesungguhnya berada di luar teknis. Pun hal itu membuat kami semakin ingin tahu dan memperkaya wawasan. Bayangkan jika produksi itu dilakukan berkali-kali dan mengangkat isu yang beranekaragam di setiap produksi. Tentunya wawasan kita akan semakin kaya, Bukan? [caption id="attachment_223061" align="aligncenter" width="500" caption="proses produksi menyoal seni tradisi."]
[/caption] Sebut saja ketika kita ingin membuat film tentang seni tradisi. Banyak hal yang mungkin tidak kita ketahui sebelumnya. pun ketika riset ¬¬¬¬– karena ini film dokumenter – banyak hal yang kita temui. Awalnya kita tak tahu, bahkan bukan bidang kita. Namun banyak nilai-nilai kehidupan yang kita dapatkan. Apalagi fenomena seni tradisi yang sungguh kompleks tetapi penuh estetika.
[caption id="attachment_223065" align="aligncenter" width="500" caption=" "]
[/caption] Bukan hanya pembuat film yang akan merengkuh nilai-nilai kehidupan saat melakukan proses produksi melainkan juga penikmatnya. Dokumenter yang notabene adalah bukan sekedar seni gambar gerak yang memberikan keindahan dan imajinasi sesungguhnya memiliki nilai-nilai edukasi. Membuat film dokumenter harus ada tendensi positif. Katakanlah untuk memperbaiki fenomena sosial yang menjadi kegelisahan publik saat itu, atau hal-hal serupa lainnya. Kelak film dokumenter akan menjadi museum hidup jika digarap secara serius dan berkelanjutan. Salam budaya! #desemberkeJogja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya