Mohon tunggu...
Eni Simatupang
Eni Simatupang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Memiliki jargon "berpikir layaknya Einstein, berimajinasi layaknya Iwan Simatupang". Selalu berimajiner dengan hal-hal yang berbau Sastra, Jurnalistik, Film, Seni, dan Budaya. follow me @enisimatupang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memijak Tanah Sendiri, Memangku Langit Tetangga

10 November 2012   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup manusia idealnya saling berdampingan. Hubungan antar manusia terikat olehrasa saling membutuhkan. Identitas sebagai makhluk sosial yang telah melekat sejak manusia itu lahir seharusnya bisa menjadi jembatan dalam menyamarkan berbagai bentuk perbedaan yang ada. Pun harapannya sudah tidak ada lagi primordial-primordial yang menjamur di masyarakat dan tidak ada pula perbedaan status sosial antara yang mengganggap dirinya normal dengan yang tidak, yang kaya dengan yang miskin, yang putih dengan yang hitam dan yang pintar dengan yang bodoh.

Status manusia sebagai makhluk sosial sepertinya melekat pada semua elemen masyarakat, baik hubungan sosial antar warga dalam sebuah negara maupun antar warga yang berbeda negara. Tentunya banyaksekali perbedaan yang nampak ketika kita berinteraksi dengan manusia lain. Pun ketika kita menginginkan interaksi yang efektif, perbedaan itu harus dijembatani dengan sikap dan perilaku positif. Sikap dan perilaku positif yang dimaksud adalah hal-hal yang bisa diterima kedua belah pihak yang saling berinteraksi, untuk mencapai pengertian bersama. Salah satunya adalah perilaku menghargai perbedaan yang ada. Hal itu harus dilakukan lantaran perbedaan tersebut bukan alat untuk dijadikan acuan dalam membentuk sebuah polemik yang kemudian akan semakin pelik jika kita terlanjur basah dalam dunia ke-pragmatis-an.

Namun yang terjadi saat ini, perbedaan menjadi hal yang sangat riskan untuk diperbincangkan. Bahkan pluralism (begitu orang menyebut perbedaan) menjadi senjata identitas kelompok dalam melakukan pembenaran diri. Alih-alih menyebut kesetiakawanan dan kepedulian sosial tetapi merugikan pihak lainnya.

Berbicara menyoal pluralism sebenanrnya sudah tersaji bukan hanya di Indonesia saja melainkan juga di negara tetangga lainnya. Oleh karena itu, kita sering menjumpai berbagai bentuk lembaga atau organisasi yang mengatasnamakan diri mereka sebagai agen pluralism. Pun ada sebagian dari mereka yang berlindung di bawah ketiak negara lain. Hal itu dilakukan bukan untuk menghianati negeri sendiri melainkan untuk mencari dukungan dalam melakukan sebuah gerakan advokasi positif untuk negeri. Baik dalam bentuk moril ataupun material.

Sebuat saja yayasan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di Yogyakarta khususnya, banyak sekali LSM yang memiliki relasi dengan donatur di luar negeri. Donatur inilah yang akan mendukung seluruh program kerja LSM. Sebut saja HIVOS dari Belanda atau Ford Foundationdari Amerika, dan masih banyak lagi. Pun tidak menutup kemungkinan antara donatur dengan LSM saling berinteraksi langsung, bukan hanya melalui jejaring sosial atau tulisan. Interaksi itulah yang membutuhkan pemahaman dari kedua belah pihak untuk saling memahami budaya masing-masing, terutama dari pihakLSM yang notabene lebih membutuhkan dukungan pihak donator.

***

Sesuai dengan yang saya alami beberapa waktu lalu ketika saya menjadi volunteer di salah yayasan di Yogyakarta. Yayasan tersebut bergerak di bidang advokasi remaja melalui partisipatori dan fasilitasi dalam bentuk film pendek, baik fiksi maupun dokumenter. Mungkin saya hanya akan menmbahasa terkait dengan gegar budaya yang terjadi dalam yayasan tersebut, bukan pada program dan profilnya. Singkatnya, yayasan tersebut mendapat dukungan dana dari sebuah perusahaan terkemuka di luar negeri. Seluruh program kerja yang dirancang bakal terealisasi dengan rapi.

Pun untuk lebih meningkatkan mutu dari partisipatori dan advokasi remaja, mereka menjalin relasi dengan banyak pembuat film dari luar negeri, misalnya pembuat film dari negara-negara di Eropa, dan beberapa di Asia. Sering mereka mengadakan acara bersama dan membuat sebuah kumpulan karya yang akan diapresiasi bersama pula.

Dalam acara apresiasi itulah saya merasakan ada sebuah keganjilan yang sedikit menggeliat di pikiran. Menurut saya itu salah satu fenomena gegar budaya. Ya, berawal dari asap rokok dan alkohol.

Seperti yang sudah saya tulis di paragraf-paragraf sebelumnya bahwa ketika dua pihak yang berlainan budaya bertemu, tentunya komunikasi akan berjalan efektif jika ada sikap saling menghargai satu sama lain. Menghargai budaya tentunya. Dan dalam hal ini yang lebih membutuhkan lah yang akan lebih mencoba untuk menghargai.

Sepertinya ada yang luput dari perbincangan kita. Sebelum kita berbicara tentang gegar budaya yang ada dalam yayasan yang saya bahas di atas, sebaiknya kita kupas dulu konsep budaya supaya tidak terlalu luas pemahamannya. Sepengetahuan saya, budaya adalah ramuan dari cipta, karya, dan karsa. Tiga elemen itu tentunya sangat luas jika kita kupas satu per satu. Budaya yang sedikit anomal dalam yayasan tersebut adalah kebiasaan masyarakat yang sudah mendarah daging atau turun temurun. Tepatnya budaya itu lebih dominan pada pihak donatur.

***

Anomali yang terjadi adalah ketika pihak yayasan mengadakan pertemuan dengan pihak donatur, para pembuat film dari luar negeri, atau tamu-tamu yang tengah melakukan kerjasama serta penelitian bersama. Saat mereka bertemu dalam sebuah forum, acara, atau meeting pastinya terbalut nuansa barat. Mulai dari tempat, makanan hingga minumannya. Padahal visi dan misi utamanya adalah mengadvokasi remaja Indonesia yang notabene masih menjunjung tinggi kearifan local yang ada.

Pun makanan, minuman dan suasana tidak begitu memberikan efek negatif. Menurut saya, hal yang membuat rasa menjadi tercengang ketika perilaku dan sikap dari pihak LSM berusaha menyejajarkan kebiasaan pihak donatur, peneliti, dan para pembuat film dari luar negeri yang menjadi tamu LSM tersbut. Padahal kita tahu bahwa sikap dan perilaku adalah hal yang harus diperhatikan secara hati-hati jika kita akan melakukan ataupun memberikan inovasi bahkan evolusi. Apalagi kedua hal tersebut bukan kebiasaan dasar kita.

Contoh konkret yang membuat saya benar-benar tercengang adalah saat diadakan screening film karya bersama (dari Indonesia dan luar negeri). Saat itu acara diadakan di salah satu tempat yang menjadi persinggahan para wisatawan asing. Sudah dapat dipastikan bahwa biaya sewa tempat dan makanan serta minuman pasti tidak murah. Namun bukan itu yang akan saya bahas. Seusai acara, kami dibebaskan untuk bercakap-cakap dengan para pembuat film dari luar negeri. Mereka memberikan berbagai wejangan dan hal-hal tentang film yang menakjubkan sebenarnya. Pikiran mereka sangat luar biasa cerdasnya. Namun ketika mereka bercakap-cakap dengan kami, mereka tidak bias lepas dari rokok dan alkhohol.

Hampir semua ruangan dipennuhi oleh sesaknya asap rokok dan wanginya alkhohol.Kita sebagai orang timur dan mahasiswa menengah ke bawah biasa ngobrol dengan kacang atau kopi, bukan? Pun yang tidak saya duga adalah hamper semua pendiri, karyawan dan volunteer serta orang-orang penting dalam yayasan tersebut turut andil dalam beriajiner dengan rokok dan alkhohol. Kenapa saya tercengang? Karena saya tidak pernah melihat mereka merokok ataupun minum alkhohol di kantor. Apalagi banyak diantaranya adalah perempuan. Buakn maksud untuk membandingkan gender atau mempersoalkannya. Tapi sebagaimana yang kita tahu dan layaknya budaya orang timur bagaimana citra buruknya ketika perempuan berimajiner dengan butiran cengkeh yang diramu dengan beberapa untai tembakau yang dibalut kertas dan menimbulkan asap yang konon nikmat rasanya?

Bukan pula saya ingin menghakimi para perempuan yang merokok. Saya hanya ingin mengidentifikasi penyebab mereka merokok. Di kantor jelas sekali mereka tidak mengkonsumsi rokok maupun alkhohol. Pun saya pernah mendengar salah satu diantaranya mengatakan,”jangan ngokok di deket gue dong! kepala gue pusing kalo bau asap rokok”

Di sana terlihat bahwa mereka tidak biasa mengkonsumsi rokok. Tapi mengapa mereka merokok? Pun saya selalu melihat moment-moment mereka merokok yaitu ketika ada tamu spesial dan ada orang asing (bule) di kantor. Hipotesis saya adalahrokok menjadi alat dalam menyambut tamu dan menghargai orang lain supaya komunikasi terjalin dengan baik. Ketika komunikasi terjalin dengan baik, kerjasama pun akan semakin baik. Saya menyimpulkan bahwa yayasan tersebutmemang masih berpijak pada tanah sendiri tetapi sudah memangku langit tetangga. Mereka berada dalam sebuah wadah yang anomali di mana antara ruang dan waktunya ada sedikit dominasi dua budaya yang berlainan. Bauk berlainan secara normatif maupun berlawanan dengan hati nurani masing-masing anggota yayasan tersebut. Pun yang jelas dalam berimajiner dengan suatu kebudayaan baru, sikap sleektif lah yang harus dijunjung tinggi, bukan sekedar keoportunisan sesaat. Salam budaya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun