Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-Gara Pesan WhatsApp

4 Desember 2024   08:21 Diperbarui: 4 Desember 2024   12:25 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebagai konsekuensi dari perbuatanmu, maka HP disita selama enam bulan," suara guru koordinator tata tertib, Pak Burhan, bergema memenuhi ruang tata tertib. "Dan rapor semester ini hanya akan bisa diambil oleh orangtua setelah sikap kalian berubah menjadi lebih baik."

Aku tertunduk, hatiku bercampur aduk. Malu, sedih, menyesal, bahkan marah, semuanya saling berebut tempat dalam dadaku. Di sekelilingku, keenam temanku juga tertunduk, wajah mereka memerah. Tidak ada satu pun dari kami yang berani menatap Pak Burhan.

Semua ini berawal dari obrolan santai kami di grup WhatsApp kelas. Kala itu kami asyik membicarakan Bu Rahma, guru matematika yang dikenal disiplin. Awalnya hanya keluhan ringan, tapi lama-lama obrolan itu berubah menjadi hujatan. Ada kata-kata yang tidak pantas, bahkan menghina. Aku sendiri tidak ikut bicara banyak, hanya sesekali menambahkan emoji tawa sebagai respons.

Namun, tanpa kami sadari, Bu Rahma berada di belakangku ketika obrolan itu terjadi. Ia membaca seluruh percakapan kami dan bahkan memotret layar ponselku. Aku merasa darahku berhenti mengalir saat menyadari apa yang telah terjadi.

Esok harinya, setelah ujian selesai, aku dan enam teman dipanggil ke ruang tata tertib. Kami merasa seperti terdakwa dalam sidang pengadilan. Kami tahu kami salah, tapi rasa malu membuat kami sulit mengakui kesalahan itu.

Pak Burhan tak banyak berkata-kata. Ia hanya menunjukkan bukti screenshot dari grup WhatsApp kami, lalu memberikan hukuman, ponsel disita selama enam bulan, dan rapor semester ini hanya bisa diambil oleh orang tua setelah sikap kami membaik.

Saat mendengar hukuman itu, aku langsung terbayang wajah kedua orang tuaku. Aku tahu betapa kecewa mereka nanti ketika harus datang ke sekolah karena kelakuanku. Selama ini, aku dikenal sebagai anak yang cukup baik, tapi apa artinya jika sikapku buruk?

Malam itu, aku merenung di kamar. Aku membayangkan wajah Bu Rahma yang pasti sakit hati karena ulah kami. Ia memang tegas, tapi itu demi kebaikan kami. Bukankah seorang guru hanya ingin yang terbaik untuk muridnya?

Aku sadar, menyesal saja tidak cukup. Aku harus berubah. Kalau selama ini aku sering terjebak dalam obrolan negatif, mulai sekarang aku bertekad untuk lebih menjaga perkataan dan perbuatanku.

Hari-hari berikutnya, aku mulai membangun reputasi baru di kelas. Aku lebih sering membantu teman yang kesulitan memahami pelajaran, termasuk pelajaran matematika dari Bu Rahma. Aku juga mulai mendekati beliau, meminta maaf secara tulus, dan berusaha menunjukkan bahwa aku benar-benar ingin berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun