Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nafas Desa yang Ditebang

10 November 2024   09:13 Diperbarui: 10 November 2024   09:20 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Kami pun tak ingin pergi, Hasan," suara Ketapang terdengar lembut namun penuh duka. "Kami ingin terus berdiri di sini, melindungi kalian dari terik matahari, memberi keteduhan saat kalian bermain dan belajar. Namun, kekuatan kami tak cukup untuk melawan keinginan mereka, orang-orang dari kota yang tak peduli akan keberadaan kami. Mereka hanya melihat kami sebagai penghalang dan pembuat kotoran, bukan sebagai teman yang selama ini memberi banyak manfaat." Hasan merasakan kesedihan yang sama, perih di hatinya semakin dalam. 

"Tapi kalian adalah bagian dari desa ini. Kalian telah tumbuh bersama kami. Bagaimana bisa mereka begitu tega menumbangkan kalian tanpa peduli?" Hasan berusaha menahan tangisnya, tetapi air matanya mulai jatuh satu per satu.

Ketapang terdiam sejenak, seakan mencari kekuatan untuk terus berbicara. "Kami sudah berjuang sekuat tenaga, Hasan. Aku dan teman-temanku Ketapang, Pule, Palem, Tanjung, dan Flamboyan, kami semua mencoba bertahan. Tapi kami tak bisa melawan manusia yang kuat. Kami hanya bisa menyerah pada takdir ini. Kami minta maaf, Hasan. Maaf karena tak bisa terus menemani kalian."

"Jadi, ini akhir bagi kalian?" tanya Hasan dengan suara hampir berbisik. 

Ketapang menghela napas panjang, napas terakhirnya. "Mungkin bagi kami ini adalah akhir, tapi bagi kalian ini adalah awal baru. Kalian harus melanjutkan apa yang sudah kami mulai. Jangan biarkan desa ini kehilangan rindangnya. Tanamlah pohon-pohon baru, biarkan mereka tumbuh besar seperti kami dulu. Jangan biarkan kekejaman orang kota memadamkan semangat kalian untuk merawat desa ini." 

Hasan mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berat. Pohon Ketapang sudah seperti sahabat, tempat ia bercerita dan berlindung. Tapi ia tahu, di balik perpisahan ini, tersimpan tanggung jawab baru yang harus ia emban. Warga desa harus berjuang menjaga apa yang tersisa, dan memulihkan kehidupan yang telah dirampas oleh tangan-tangan yang tak peduli.

"Setiap kehidupan ada masanya, Hasan," balas Ketapang lembut. "Kami bahagia bisa menemani kalian. Namun, ada kekuatan yang lebih besar yang tak bisa kami lawan. 

Pemimpin baru desa ini menginginkan kami pergi, dan kami tak bisa menolak. Meski kami tak bisa lagi menaungi kalian secara fisik, ingatlah, kenangan bersama kami akan selalu hidup di hati kalian."

Air mata Hasan jatuh. "Kami akan merindukan kalian. Desa ini tidak akan sama tanpa kalian," katanya sedih.

Ketapang tersenyum dalam diam. "Jangan khawatir, Hasan. Lanjutkan apa yang kami mulai. Tanamlah pohon-pohon baru, buatlah mereka tumbuh besar dan rindang. Pohon-pohon itu nantinya akan melanjutkan tugas kami, memberikan teduh dan tempat berlindung untuk kalian."

Hari itu, Hasan dan anak-anak desa lainnya merasa sangat kehilangan. Namun, percakapan dengan pohon Ketapang memberinya kekuatan. Bersama warga desa, Hasan memutuskan untuk menanam kembali pohon-pohon baru. Pohon Nangka, Jambu, Palem, Randu, dan Rambutan akan digantikan dengan tunas-tunas baru yang suatu hari akan tumbuh sama besar dan rindang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun