Di Desa Sumberan, hidup seorang lelaki sederhana bernama Pak Danu. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan pekerja keras. Bersama warga desa lainnya, Pak Danu menanam lima pohon besar di tengah-tengah desa dengan harapan suatu hari anak-anak mereka bisa bermain dan belajar di bawah rindangnya. Pohon-pohon itu adalah pohon Ketapang, Pule, Palem, Tanjung, dan Flamboyan.Â
Waktu berlalu, dan seperti harapan Pak Danu serta warga desa, pohon-pohon tersebut tumbuh besar dan rindang. Anak-anak sering berkumpul di sana, bermain, membaca buku, bahkan belajar bersama di bawah naungan daun-daun yang melambai lembut diterpa angin. Setiap sore, Hasan, anak Pak Danu, selalu membawa buku favoritnya dan duduk di bawah pohon Ketapang.Â
Namun, kehidupan di desa yang tenang itu berubah ketika pemimpin desa mereka, yang sudah lama mendampingi warga, diganti oleh seorang pendatang dari kota. Awalnya, warga tak terlalu mempermasalahkan perubahan ini. Namun, pada suatu pagi yang tenang, suara gemuruh mengejutkan warga. Ketika mereka keluar rumah, mereka mendapati kelima pohon yang rindang itu telah tumbang. Hanya tersisa sepotong batang dari pohon Ketapang yang masih berdiri, seperti enggan menyerah kepada waktu.Â
Hasan, yang sangat menyayangi pohon-pohon itu, berlari ke arah tempat pohon Ketapang berada. Matanya berkaca-kaca melihat pohon-pohon yang dulu menaunginya kini tergeletak tak berdaya.Â
Ia bertanya pada ayahnya, "Kenapa pohon-pohon ini tumbang, Pak? Kenapa mereka tega menebang pohon-pohon itu begitu saja?"
Pak Danu hanya menggeleng pelan, hatinya juga diliputi kesedihan yang dalam. Tapi tiba-tiba, Hasan mendengar suara lembut, seolah datang dari sisa batang pohon Ketapang.Â
Suara itu berkata, "Hasan, maafkan kami. Kami telah memberikan yang terbaik untuk kalian semua, menaungi kalian dari terik, memberi tempat berlindung. Namun, kini saatnya kami harus pergi, kami tak mampu bertahan dengan keganasan mesin pemotong itu."
Hasan terkejut, tak percaya bahwa pohon itu berbicara. "Tapi kenapa, Ketapang? Kenapa kalian harus pergi meninggalkan kami? Kami masih membutuhkan kalian" ucap Hasan dengan suara serak menahan tangis.Â
"Kami masih butuh oksigen darimu untuk menghidupi masa depan masyarakat desa ini." Hasan terus terisak memeluk batang ketapang yang terkapar tak berdaya.
Pohon Ketapang juga tampak bersedih. Daun-daunnya yang tersisa bergoyang pelan seolah ikut meneteskan air mata.