Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelisik Budaya Baritan saat Sambut Muharam di Blitar

19 Agustus 2020   20:39 Diperbarui: 20 Agustus 2020   08:33 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam tradisi Baritan, warga diharuskan membawa nasi dalam takir. | Dokumentasi pribadi

Sejak tinggal di Blitar, saya sering dibuat kagum dengan tradisi adat daerah yang masih kental budaya Jawanya. Karena sebelumnya jarang saya temui di kota tempat saya dilahirkan, yaitu Jember. 

Adat kebiasaan tersebut mulai dari acara pertunangan, pernikahan, ibu hamil tiga bulan, tujuh bulan, sepasaran sampai peringatan hari-hari besar Islam maupun nasional.

Hari ini tepatnya malam satu Muharam atau satu Suro (penanggalan jawa). Bila kita berjalan-jalan di Kota Bung karno, di beberapa perempatan jalan mulai pukul lima sore sampai menjelang Isya pasti akan bisa menyaksikan tradisi kenduren Suroan yang dilakukan oleh warga.

Kegiatan selamatan ini dikenal dengan nama Baritan, yaitu acara adat yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat untuk bersama-sama melaksanakan permohonan doa kepada Tuhan agar daerahnya terhindar dari segala bencana dan musibah. 

Sebuah kepercayaan bahwa bila tradisi ini tidak dilaksanakan maka akan muncul bencana besar yang melanda daerahnya.

Baritan ini dilaksanakan pada penghujung bulan besar atau Dzulhijjah menjelang bulan Muharam. Karena diyakini bahwa bulan Suro atau Muharam adalah bulan keramat yang dipercaya sebagai tonggak atau bulan permulaan untuk memulai sesuatu.

Setiap menjelang bulan Suro ini, tanpa ada instruksi juga tanpa pemberitahuan, setiap warga sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kegiatan ini. Selanjutnya menjelang atau setelah Magrib warga berduyun-duyun berkumpul di perempatan terdekat untuk melakukan upacara selamatan atau tasyakuran.

Tujuan kegiatan ini untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Rahmat agar warga dan pengguna jalan di wilayah tersebut diberi keselamatan, kecukupan rizki dan sebagai "tolak balak", yang artinya agar warga setempat dijauhkan dari musibah dan marabahaya. 

Alasan dilaksanakan di perempatan karena untuk mengusir semua bahaya yang akan datang dari empat penjuru (barat, selatan, timur, dan utara)

Warga yang datang di tempat ini harus membawa 'takir', yaitu nasi yang sudah dilengkapi lauk pauk. Uniknya nasi tersebut harus dibawa dengan wadah yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti panci, lalu di atasnya dibalut janur (daun muda dari beberapa jenis tumbuhan palma besar, terutama kelapa, enau dan rumbia). 

Suasana upacara Baritan di perempatan jalan desa. | Dokumentasi pribadi
Suasana upacara Baritan di perempatan jalan desa. | Dokumentasi pribadi
Daun pisang sebagai tempat nasi dan lauk pauk ini merupakan simbol kesederhanaan, karena selamatan itu tidak perlu mewah, yang penting bisa dirasakan manfaatnya. 

Sedangkan daun janur, masyarakat Jawa mengartikan janur sebagai 'sejating nur' yang berarti cahaya sejati. Janur memiliki makna bahwa sejatinya manusia membutuhkan cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat melihat dengan jelas mana yang baik dan mana yang buruk.

Takir yang dibawa warga harus sesuai dengan jumlah keluarga, ditambah minimal satu untuk selamatannya atau syukurannya. Bila dalam satu keluarga ada empat orang, maka minimal harus membawa lima takir. Selanjutnya takir tersebut dikumpulkan di tengah jalan yang dikelilingi oleh warga untuk diikutkan dalam acara doa bersama.

Setelah semua warga berkumpul, salah satu dari warga membuka acara, selanjutnya sesepuh desa atau ajisepuh memimpin acara genduren. Ajisepuh tersebut mengucapkan kata-kata permohonan dan harapan warga dengan menggunakan berbahasa jawa atau bahasa Indonesia yang isinya permohonan kepada Tuhan tentang kebaikan bagi warga, terkadang juga diselipkan informasi-informasi resmi dari pemerintah.

Setelah permohonan doa selesai, nasi yang tadi dikumpulkan, dibagikan lagi secara acak kepada seluruh warga. Menariknya lagi, warga tidak boleh memilih atau membuka isinya. Apa yang sudah diberikannya harus diterima dengan senang hati. Bila ada sisa takir akan dibagikan kepada warga yang membutuhkan atau disedekahkan.

Upacara baritan ini berlangsung sekitar 30 menit, dan selama itu pula semua ruas jalan perempatan di tutup, sehingga pengguna jalan untuk sementara harus menunggu beberapa saat. Namun ternyata ini sudah menjadikan maklum bagi masyarakat Blitar. Meski harus menunggu tidak ada keluhan dari pengguna jalan.

Meski harus mengurangi uang belanja untuk baritan ini, rupanya warga senang dan menunggu-nunggu kedatangan bulan suro. Karena masyarakat meyakini, bila baritan ini tidak dilaksanakan maka akan datang musibah yang terjadi di daerahnya .

Untuk itu, patut direnungkan oleh segenap kalangan bahwa tradisi baritan ini selain merupakan warisan budaya bangsa yang penuh dengan kemaslahatan. Budaya ini juga merupakan cermin kepribadian atau karakter ketimuran yang berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus sebagai perjanjian luhur yang perlu dipelihara dari masa ke masa.

Jadi, tugas generasi muda adalah melestarikan tradisi baritan supaya tidak punah ditelan zaman. Bila kita ingin menjadi bangsa yang baik, maka mari memelihara tradisi budaya daerah yang menjadi pesona budaya nusantara.

Blitar, 19 Agustus 2020

Enik Rusmiati, S.Pd.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun