Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelisik Budaya Baritan saat Sambut Muharam di Blitar

19 Agustus 2020   20:39 Diperbarui: 20 Agustus 2020   08:33 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam tradisi Baritan, warga diharuskan membawa nasi dalam takir. | Dokumentasi pribadi

Sedangkan daun janur, masyarakat Jawa mengartikan janur sebagai 'sejating nur' yang berarti cahaya sejati. Janur memiliki makna bahwa sejatinya manusia membutuhkan cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat melihat dengan jelas mana yang baik dan mana yang buruk.

Takir yang dibawa warga harus sesuai dengan jumlah keluarga, ditambah minimal satu untuk selamatannya atau syukurannya. Bila dalam satu keluarga ada empat orang, maka minimal harus membawa lima takir. Selanjutnya takir tersebut dikumpulkan di tengah jalan yang dikelilingi oleh warga untuk diikutkan dalam acara doa bersama.

Setelah semua warga berkumpul, salah satu dari warga membuka acara, selanjutnya sesepuh desa atau ajisepuh memimpin acara genduren. Ajisepuh tersebut mengucapkan kata-kata permohonan dan harapan warga dengan menggunakan berbahasa jawa atau bahasa Indonesia yang isinya permohonan kepada Tuhan tentang kebaikan bagi warga, terkadang juga diselipkan informasi-informasi resmi dari pemerintah.

Setelah permohonan doa selesai, nasi yang tadi dikumpulkan, dibagikan lagi secara acak kepada seluruh warga. Menariknya lagi, warga tidak boleh memilih atau membuka isinya. Apa yang sudah diberikannya harus diterima dengan senang hati. Bila ada sisa takir akan dibagikan kepada warga yang membutuhkan atau disedekahkan.

Upacara baritan ini berlangsung sekitar 30 menit, dan selama itu pula semua ruas jalan perempatan di tutup, sehingga pengguna jalan untuk sementara harus menunggu beberapa saat. Namun ternyata ini sudah menjadikan maklum bagi masyarakat Blitar. Meski harus menunggu tidak ada keluhan dari pengguna jalan.

Meski harus mengurangi uang belanja untuk baritan ini, rupanya warga senang dan menunggu-nunggu kedatangan bulan suro. Karena masyarakat meyakini, bila baritan ini tidak dilaksanakan maka akan datang musibah yang terjadi di daerahnya .

Untuk itu, patut direnungkan oleh segenap kalangan bahwa tradisi baritan ini selain merupakan warisan budaya bangsa yang penuh dengan kemaslahatan. Budaya ini juga merupakan cermin kepribadian atau karakter ketimuran yang berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus sebagai perjanjian luhur yang perlu dipelihara dari masa ke masa.

Jadi, tugas generasi muda adalah melestarikan tradisi baritan supaya tidak punah ditelan zaman. Bila kita ingin menjadi bangsa yang baik, maka mari memelihara tradisi budaya daerah yang menjadi pesona budaya nusantara.

Blitar, 19 Agustus 2020

Enik Rusmiati, S.Pd.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun