"1 km lagi pos kesehatan siaga covid-19, Anda dari zona merah, putar balik atau karantina 14 Â hari di fasilitas Kabupaten Jember".
Membaca isi benner yang dikirim saudara di grup whatsapp keluarga Jember, membuatku langsung baper, menangis. Aku merasa bumi pertiwiku sudah tak mau menerimaku lagi. Meski secara logika aku sangat memahami keadaan ini, bahwa sebagai warga negara yang baik aku harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Juga sebagai umat beragama aku harus taat kepada ulama dan pemimpin tempatku bernaung. Entah mengapa rasa sedih dan pilu ini tetap bersemayam di dadaku.
Biasanya menjelang ramadhan seperti ini, saya bersama keluarga mudik ke jember, ke rumah peninggalan orang tua. Selain beziarah ke makam kedua orang tua, kami juga bersilaturahmi ke saudara-saudara. Saling berbagi cerita dan makanan ringan.
Salain itu kami sekeluarga juga menikmati budaya menjelang ramadhan ini dengan kenduri bersama atau unggahan di mushola dekat rumah kami. Ah, namun tahun ini, kami harus belajar ihlas untuk tidak mudik, tidak bisa menikmati panorama pedesaan tempatku di lahirkan.
Berat memang, menerima kenyataan untuk tidak bisa pulang ke kampung halaman, bertemu saudara, mengenang masa lalu dengan sahabat masa kecil dan reuni bersama teman-teman bermain. Karena kesempatan ini memang hanya satu tahun sekali.
Namun, sekali lagi,  kita tidak bisa hanya berpikir untuk diri sendiri. Kita harus bisa memikirkan dampak yang diakibatkan oleh keputusan yang kita  buat karena memenuhi nafsu keinginan dan kepuasan semata.
Mudik, bertemu orang tua (berziarah ke makam bagi orang tua yang sudah meninggal) silaturahmi dengan keluarga memang sangat baik. Namun apabila perbuatan baik itu justru berdampak kemudharatan yang lebih besar, maka kebaikan yang kita tabur itu justru tidak benilai.
Sebaliknya dengan menahan diri di rumah, menahan segudang  rindu yang sudah menumpuk, maka keamanan dan kesehatan keluarga akan semakin terlindungi. Saat ini zaman sudah canggih, silaturahmi  dan melepas rindu untuk sementara waktu bisa gunakan video call. Bahkan kita  bisa gunakan aplikasi berbicara dengan orang lain dengan jumlah yang lebih banyak.
Menyikapi situasi darurat pandemi corono seperti saat ini, kita harus benar-benar bisa menyeimbangkan antara kepentingan perasaan dan pikiran. Harus bisa menimbang keputusan yang mendatangkan manfaat atau mudharat bagi orang lain.
Sedih boleh, menangis juga nggak ada yang melarang, asal jangan berlarut-larut hingga melupakan sesuatu yang lebih urgent untuk disikapi, begitu kata suamiku.
Iya, memang betul, kita tidak boleh fokus pada ketidaknyamanan karena keinginan yang tidak terpenuhi, karena itu justru akan membuat diri kita semakin stres. Kita harus membagi perhatian kita pada lingkungan yang jauh membutuhkan perhatian dari kita, agar kita bisa lebih menaruh simpati, empati dan peduli kepada orang lain. Dan yang terpenting akan lebih bersyukur, bahwa ternyata masih banyak nikmat yang Tuhan  berikan  kepada kita.
Mari bersama-sama belajar menjadi umat beragama yang taat dan warga negara yang baik. Seperti nasihat almarhum bapakku, "Kalau kamu ingin hidupmu bahagia dunia dan akhirar, jangan pernah melanggar atura agama dan negara."
Demikian, semoga pengalamanku ini bermanfaat. Amin.
Blitar, 17 April 2020
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H