Hari ini keluarga besarku Jember, dibikin heboh oleh ulah dua keponakanku yang masih sepupu, berumur 8 tahun. Sehari tidak pulang, tidak izin orang tua maupun saudara-saudara yang lain. Begitu ibu-ibunya mulai menyadari kalau dua bersaudara ini tidak berada di rumahnya dan juga tidak ada di keluarga besar kami. Maka mereka mulai panik, pencarian pun dilaksanakan, dari bertanya ke tetangga, saudara, teman dekat, menyusuri tempat-tempat bermain anak-anak sampai pasar dan sawah. Namun tak juga ada berita keberadaan kedua anak ini.
Kekhawatiran mulai memuncak, ketika ingat bila anak-anak itu bermain di sungai tanpa pengawasan. Karena rumah keluarga besar kami itu dekat sungai besar dan hutan belantara. Akhirnya penyusuran ke sungai pun tak luput dari usaha keluarga besar. Semua dikerahkan untuk pencarian ini.
Namun sampai waktu menunjukkan pukul 15.30, berita keberadaan dua anak ini belum ada titik terang. Sampai akhirnya, pukul 16.00 mereka tiba-tiba muncul di pelataran rumah dengan baju basah kuyup dan muka serta rambut penuh pasir. Setelah di interogasi oleh kedua orang tuanya, ternyata mereka pergi ke Pantai Watu Ulo yang berjarak kuranglebih 7 km dengan mengendarai sepeda onthel. Dan yang membuat jantung ibunya berhenti berdetak adalah mereka mandi di pantai yang terkenal ombak besar, juga telah banyak menelan korban. Hanya ucapan syukur kepada Allah yang tiada habis-habisnya, karena telah pulang dengan selamat, tanpa cidera sedikit pun.
Melihat perilaku kedua kepokanku tersebut, aku jadi ingat masa kecilku. Karena apa yang mereka lakukan itu persis dengan ulahku dulu ketika masih usia sekolah dasar. Bahkan petualanganku lebih jauh lagi, karena harus menembus hutan belantara, tanpa bekal dan tanpa uang saku. Waktu itu kalau lapar tinggal panjat buah yang ada di hutan.
Aku jadi bayangkan, bagaimana perasaan ibuku waktu itu, apalagi aku seorang wanita. Pasti panik, gelisah, cemas, marah, gemes, kasihan campur aduk jadi satu. Dan aku? Sama sekali tidak memikirkan apa yang dirasakan ibuku, ya Allah..sungguh anak macam apa aku ini.
Masih sangat jelas diingatanku, ketika aku pulang dari petualang. Ibuku lngsung memandikanku, digosok tumbuhku dengan sabun. Sembari berkata, "Cah wedok kalau sering kluyuran akan jadi hitam." Setelah berpakaian bersih ibu menyiapkan makanan kesukaanku, karena jelas lapar setelah bolang seharian.
Sambil menunggui aku makan, ibu memberi beberapa nasihat kepadaku, pertama, jadi wanita itu harus menutup aurat. Seorang wanita itu dihargai orang karena busananya. Wanita yang tidak menutup aurat akan memancing laki-laki untuk menggodanya, melecehkanya. Dan aurat wanita itu semua anggota tubuh kita, kecuali wajah dan telapak tangan.
Kedua, jadi wanita itu harus betah di rumah, jangan suka kluyuran yang tidak ada manfaatnya. Apalagi hanya bermain-main untuk kesenangan diri sendiri saja. Wanita itu sumber dari masalah seorang laki-laki. Jadi lebih baik banyak di rumah, membantu orang tua, memgaji, dan belajar.
Ketiga, jadi wanita itu harus bersikap lembut dan berkata santun. Bila tidak sependapat dengan orang lain, sampaikan dengan baik, jangan kasar apalagi dengan membentak-bentak.
Pitutur sederhana dari seorang ibu yang sangat sederhana pula, namun maknanya seluas pantai laut selatan. Yaa...aku telah lupa dengan kodratku sebagai seorang wanita, yang seharusnya santun, dan lebih memanfaatkan waktunya untuk belajar dan membantu orang tua. Wanita, seharusnya wani di tata, bukan membantah dan bertindak "semau gue".
Kejadian petualangan kedua keponakanku hari ini sungguh suatu tamparan telak bagiku, sehingga aku sangat bisa merasakan bagaimana perasaan ibuku waktu itu. Pituturmu adalah amanah yang berharga untukku, anak-anakku dan anak dididikku.