Pagi ini, ketika saya membuka halaman Kompasiana, serasa tidak percaya, saya membaca nama saya tertulis di deretan Kompasianer Pilihan. Padahal tulisan saya masih kacau, asal-asalan, masih miskin kosa kata, kenapa bisa terpilih bersanding dengan para kompasianer senior?
Yaps, tentu semua itu berkat rahmat Tuhan Yang Esa, karena pentunjuk-Nyalah tulisan-tulisan saya bisa menjadi karya pilihan. Karena kuasa-Nyalah kalau saat ini nama saya tercantum di Kompasianer Pilihan. Juga karena kasih sayang-Nyalah kalau saat ini saya kembali punya semangat dan mencintai dunia literasi setelah sekian lama disibukkan oleh pekerjaan yang tiada habis-habisnya.
Awal saya mengenal Kompasiana bisa dikatakan akhir sebuah pelarian hati yang sedang dilanda "gegana" (gelisah, galau dan merana) hingga harus "baper" (bawa perasaan) yang berlebihan. Yaitu sekitar delapan bulan yang lalu, saya mengalami permasalahan yang amat menyakitkan, menyedihkan dan penuh dengan air mata. Cieehh..baper nih.
Bermula ketika semangat dan kreativitas saya untuk mengubah lingkungan tempat saya tinggal dan mengabdi justru dinilai negatif. Cinta dan semangat saya untuk melakukan sebuah perubahan bertepuk sebelah tangan. Mimpi-mimpi yang telah saya bangun sekian lama, harus pupus hanya beberapa kalimat saja. Karena jiwa saya tidak sekuat R.A. Kartini, Dewi sartika maupun Cut Nyak Dhien, maka saya memutuskan untuk berhenti melakukan perubahan.
Menerima perlakukan yang kurang adil, sedih? Iya. Sakit hati? Tentu. Namun saya berusaha tidak marah atau pun dendam. Saya tenggelamkan hati dan pikiran saya pada buku-buku agama dan motivasi. Saya tumpahkan baper saya dalam tulisan.
Karena terbiasa banyak kegiatan, diam ternyata amat menyiksa. Akhirnya saya mencari kesibukan, melalui face book dan instagram saya bergabung dengan komunitas menulis. Bahkan saya juga mengikuti beberapa kelas menulis online wahtsapp.
Sampai akhirnya seorang teman menawarkan bergabung di grup Menulis Buku Malang raya dan Sekitarnya (Komalku Raya). Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan ajakan tersebut. Di komunitas yang digawangi oleh kompasianer mbak Anis Hidayatie ini ternyata sebagian besar penulis-penulis hebat Kompasiana. Dari sinilah saya diajari menjadi kompasianer yang kritis dan kreatif. Di grup ini kami sering diskusi mulai cara menentukan tema yang "hot", membuat tulisan yang komunikatif, sampai cara unggah foto dan lain-lain. Teman-teman di grup ini luar biasa, saling mengkritik, berbagi ilmu menulis dan saling berbagi informasi.
Nah, sejak menjadi kompasianer inilah semangat menulis saya kembali menggelora. Materi  bukan tujuan utama saya, bisa belajar, mengenal penulis-penulis kreatif, bisa berselancar membaca karya-karya kompasianer adalah ilmu yang amat berharga. Bahkan sangking semangatnya, karena waktu di rumah sering saya gunakan untuk membaca dan menulis, tidak jarang ada yang cemburu lo. Hehe..
Pada awal post tulisan, jarang sekali mendapat "biru" atau karya pilihan, namun hal ini tidak menjadikan saya berhenti menulis. Saya terus membaca dan menulis, sampai suatu hari saya saya membaca tulisan saya ada di Artikel Utama. Waow...rasanya seperti terbang, apalagi disusul berada di deretan Kompasianer Pilihan. Jelas bahagia, karena kreativitas saya masih ada yang menghargai. Terimakasih Kompasiana.
Sahabat kompasiana, ternyata baper itu bisa dijadikan ajang menuju kreativitas yang lebih produktif. Kita tidak harus terlena dalam kesedihan yang berkepanjangan dan menyalahkan orang lain. Justru berterimakasihlah kepada penilai-penilai kita, karena mereka lah kita bisa tahu kelemahan kita. Tanpa para pengkritik barangkali kita akan selalu congkak dan sombong.
Dan sebaik-baiknya tempat mencurahkan hati kita adalah buku. Buku tidak pernah membenci, tapi selalu memberi solusi. Buku tidak pernah mencaci, namun selalu memberi inspirasi. Buku tidak pernah mati, namun semangatnya senantiasi berapi-api menuju hidup yang lebih hakiki.