Liburan sekolah tahun ini saya manfaatkan untuk mudik di tanah kelahiran yaitu Jember. Saya berangkat dengan naik angkutan umum bus. Mungkin karena waktu liburan, sehingga penumpangnya banyak, hingga beberapa penumpang harus berdiri. Seperti angkutan umum yang lainnya, bus yang saya tampangi kadang harus berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, meski tidak jarang para pengamen dan penjual makanan juga ikut menjajakan dagangannya.
Ketika bus melaju beberapa jam, ada satu penumpang yang meminta bus berhenti. Seperti penumpang lainnya, kondektur menyilakan masuk, penumpang paruh baya dengan tubuh besar segera masuk menggeser penumpang yang lain.Â
Penumpang yang baru masuk itu tidak mau bergeser, inginya tetap berdiri di depan pintu masuk, dan itu menghalangi jalan, maka kondektur pun meminta dengan suara yang agak keras. Mendapat perintah seperti itu, jawaban penumpang tadi tidak kalah kerasnya, bahkan ada kata yang tidak terpuji terlontar darinya.
Perdebatan pun tak bisa terelakkan, kata-kata kotor, makian keluar dari mulut penumpang dan kondektur. Penumpang yang lain mulai gelisah, termasuk saya.Â
Banyak nasihat yang bermunculan, diantaranya, sabar, ngalah, pergi salah satu, turun saja dan sebagainya. Namun semua itu tidak mengurangi pertikaian keduanya. Bahkan berikutnya tidak hanya makian, tangan kanan penumpang bertubuh gempal tadi mulai meraih baju kondektor seraya berkata, "Aku iki wes tahu mateni wong sepuluh, lek cuma mateni kondektur ae kecil," (Aku ini sudah pernah membunuh sepuluh orang, kalau hanya membunuh kondektur saja masalah kecil).
Suasana semakin tegang, penumpang yang berada di sampingnya tidak berani melerai, pasti karena tidak mau terkena dampaknya. Lalu ada penumpang ibu-ibu yang berteriak, "Pak sopir, minggir dulu, di belakang ada yang bertengkar," seketika bus minggir dan berhenti. Sopir bus keluar dan menuju ke belakang.
Alhamdulillah temperamen bapak sopir ini lebih baik di banding kondekturnya. Dengan lembut sopir itu merangkul bahu kondektur dan diajak ke depan. Sementara kepada penumpang bertubuh gempal tadi, ia memohon maaf dengan memberi pilihan tetap naik atau turun. Mendengar sapaan sopan dari sopir bus tadi, seketika kemarahan penumpang tadi reda, dan minta maaf juga. Selanjutnya bus yang saya tumpagi berjalan lagi menuju terminal Arjosari.
Kenapa harus marah?
Perasaan marah terjadi keinginan, tujuan maupun harapan yang tidak tercapai. Keinginan penumpang tadi tetap berdiri di depan pintu, namun di suruh pindah. Inginnya di perintah dengan lembut namun malah dibentak. Maka terjadilah rasa marah yang menjadi suatu perasaan yang dominan secara perilaku, kognitif maupun fisiologi saat seseorang membuat pilihan sadar untuk mengambil tindakan menghentikan secara langsung ancaman dari pihak luar.
Menurut C.P. Â Caplin, marah, murka, berang, gusar adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf otomomik.
Senyuman Bisa Atasi Masalah
Kesulitan terbesar kita adalah mengendalikan emosi yang berlebihan. Padahal hati dan akal kita menyadari bahwa respon berlebihan atas rangsangan yang kita terima itu tidak baik. Seringkali teori-teori tentang kebenaran dan hal-hal yang baik itu dikalahkan oleh nafsu kita. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan atau budaya hidup kita sehari-hari.
Seperti reaksi yang spontan disampaikan oleh penumpang dan kondektur bis tersebut, sebenarnya bisa dia menyampaikannya dengan santun, lembut. Namun karena pengaruh kebiasaan dalam kehidupannyalah maka dia tidak bisa mengendalikan nafsunya dengan baik.
Berbeda dengan yang dilakukan dengan sopir bus, dengan kelembutan suara dan sentuhan tangannya ternyata mampu meredam kemarahan kedua awak bus yang sedang beradu pendapat. Sopir tersebut tidak perlu menguras tenaga yang tidak bermanfaat hanya untuk mengikuti nafsunya. Justru tindakannya itu selain dapat meredakan ketegangan di dalam bus, ternyata justru memberikan citra dan penilaian positif terhadap kepribadiannya.
Dalam menyikapi persoalan hidup sehari-hari kita bisa mencontoh sopir bus tersebut. Kenapa sih harus marah, jika senyuman bisa menyelesaikan masalah?Â
Tebarkan senyum terindah, saat mendapat perlakuan kurang baik dari lingkungan kita. Karena amarah tidak akan menyelesaikan masalah, justru menjadikan konflik yang semakin memuncak.
Jember, 2 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H