Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kenapa Harus Marah, Jika Senyuman Bisa Atasi Masalah?

2 Juli 2019   10:15 Diperbarui: 3 Juli 2019   09:39 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liburan sekolah tahun ini saya manfaatkan untuk mudik di tanah kelahiran yaitu Jember. Saya berangkat dengan naik angkutan umum bus. Mungkin karena waktu liburan, sehingga penumpangnya banyak, hingga beberapa penumpang harus berdiri. Seperti angkutan umum yang lainnya, bus yang saya tampangi kadang harus berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, meski tidak jarang para pengamen dan penjual makanan juga ikut menjajakan dagangannya.

Ketika bus melaju beberapa jam, ada satu penumpang yang meminta bus berhenti. Seperti penumpang lainnya, kondektur menyilakan masuk, penumpang paruh baya dengan tubuh besar segera masuk menggeser penumpang yang lain. 

Penumpang yang baru masuk itu tidak mau bergeser, inginya tetap berdiri di depan pintu masuk, dan itu menghalangi jalan, maka kondektur pun meminta dengan suara yang agak keras. Mendapat perintah seperti itu, jawaban penumpang tadi tidak kalah kerasnya, bahkan ada kata yang tidak terpuji terlontar darinya.

Perdebatan pun tak bisa terelakkan, kata-kata kotor, makian keluar dari mulut penumpang dan kondektur. Penumpang yang lain mulai gelisah, termasuk saya. 

Banyak nasihat yang bermunculan, diantaranya, sabar, ngalah, pergi salah satu, turun saja dan sebagainya. Namun semua itu tidak mengurangi pertikaian keduanya. Bahkan berikutnya tidak hanya makian, tangan kanan penumpang bertubuh gempal tadi mulai meraih baju kondektor seraya berkata, "Aku iki wes tahu mateni wong sepuluh, lek cuma mateni kondektur ae kecil," (Aku ini sudah pernah membunuh sepuluh orang, kalau hanya membunuh kondektur saja masalah kecil).

Suasana semakin tegang, penumpang yang berada di sampingnya tidak berani melerai, pasti karena tidak mau terkena dampaknya. Lalu ada penumpang ibu-ibu yang berteriak, "Pak sopir, minggir dulu, di belakang ada yang bertengkar," seketika bus minggir dan berhenti. Sopir bus keluar dan menuju ke belakang.

Alhamdulillah temperamen bapak sopir ini lebih baik di banding kondekturnya. Dengan lembut sopir itu merangkul bahu kondektur dan diajak ke depan. Sementara kepada penumpang bertubuh gempal tadi, ia memohon maaf dengan memberi pilihan tetap naik atau turun. Mendengar sapaan sopan dari sopir bus tadi, seketika kemarahan penumpang tadi reda, dan minta maaf juga. Selanjutnya bus yang saya tumpagi berjalan lagi menuju terminal Arjosari.

Kenapa harus marah?

Perasaan marah terjadi keinginan, tujuan maupun harapan yang tidak tercapai. Keinginan penumpang tadi tetap berdiri di depan pintu, namun di suruh pindah. Inginnya di perintah dengan lembut namun malah dibentak. Maka terjadilah rasa marah yang menjadi suatu perasaan yang dominan secara perilaku, kognitif maupun fisiologi saat seseorang membuat pilihan sadar untuk mengambil tindakan menghentikan secara langsung ancaman dari pihak luar.

Menurut C.P.  Caplin, marah, murka, berang, gusar adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf otomomik.

Senyuman Bisa Atasi Masalah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun