DARI semua keramaian berita politik dan pemilu 2014, ada berita yang sebenarnya cukup menarik di bulan Maret 2014, hanya saja berita ini tidak terlalu ‘trending’ di berbagai media. Padahal sejak awal Maret kemarin isu tentang Pemerintah Indonesia Vs. Perusahaan Tambang sudah sering muncul. Kali ini tidak hanya pemerintah Indonesia (kementerian terkait) yang berperang, Abraham Samad selaku Ketua KPK akhirnya ikut menyatakan ‘peperangan’ terhadap perilaku perusahaan tambang di Indonesia.
Pemerintah Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga mencapai puluhan miliar rupiah setiap tahunnya dikarenakan banyak perusahaan tambang yang tidak membayar royalti sebagai sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selain karena kurangnya tanggung jawab dari para pemilik perusahaan tambang, tidak adanya pengawasan dari pihak dan instasi terkait juga diduga menjadi salah satu penyebab masalah tersebut.
Rabu, 25 Maret 2014, Abraham Samad menyampaikan permintaan agar pemerintah segera memperbaiki aturan tentang kontrak kerja di sektor pertambangan. Permintaan tersebut disampaikan saat Abraham Samad menjadi narasumber seminar "Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia" di Universitas Negeri Semarang.
Abraham Samad menyatakan bahwa 50 persen perusahaan tambang di Indonesia tidak menyetorkan royaltinya sebagai pemasukan kas Negara. Menurutnya, masih ada banyak kebocoran pemasukan pajak dan royalti di dalam sektor industri tambang (dikutip dari tempo.co).
Tentang Royalti Perusahaan Tambang
Royalti yang dimaksud adalah kewajiban dari pihak perusahaan tambang yang diharuskan memberikan keuntungan kepada negara, yaitu berupa sebagian pendapatan dari perusahaan tambang lokal maupun asing. Setiap negara/pemerintahan memiliki kebijakan yang berbeda dalam soal royalti, hal itu terkandung di dalam perjanjian atau kontrak kerja sama pengelolaan sumber daya alam.
Ada berbagai jenis atau cara penerimaan royalti perusahaan tambang untuk Negara. Jenis yang pertama adalah negara menerima royalti berdasarkan jumlah produksi dari perusahaan yang bersangkutan. Jenis ini dapat menguntungkan negara, karena negara berhak mengambil nilai dalam bentuk Rupiah untuk setiap angka produksi dari hasil tambang, misalnya Rp. 100,000,- / angka produksi (ton).
Jenis yang kedua adalah dengan memungut pajak penghasilan dari perusahaan tambang. Jenis royalti ini bergantung kepada pendapatan yang dikurangi biaya produksi dari perusahaan tambang tersebut, dan sangat menguntungkan bagi pihak perusahaan tambang.
Jenis yang terakhir adalah negara jadi bagian dari stockholders atau pemegang saham. Dengan cara ini pemerintah/negara dapat menikmati bagi hasil keuntungan perusahaan tambang (dividen). Cara tersebutakan menguntungan jika negara membeli sahamnya dibawah indeks harga pasar dan tanpa biaya transaksi. Selain itu, negara juga berhak ikut di dalam pengambilan kebijakan atau keputusan sebagai pemegang saham di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), selayaknya penanam modal umum.
Ke-3 cara di atas dapat mendatangkan keuntungan dan kerugian bagi kedua belah pihak (pemerintah dan perusahaan tambang), tergantung isi perjanjian/kontrak yang dibuat dan UU yang berlaku.
Pemerintah Vs. Perusahaan Tambang
Pada tanggal 7 Maret 2014, 25 perusahaan tambang menandatangani nota kesepahaman renegosiasi yang berisi enam poin. Namun ada 83 perusahaan dari total 112 perusahaan yang memilih untuk tidak menandatangani nota kesepahaman tersebut, termasuk Freepot dan Newmont.
Menurut Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, ke-83 perusahaan tambang tersebut menolak ikut karena masih ada beberapa poin yang diperdebatkan, salah satunya tentang royalti. Jero Wacik juga sempat menyampaikan bahwa meskipun beberapa perusahaan tambang masih merasa ‘sok kuat’, pemerintah sudah memiliki Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba).Jero Wacik juga menyampaikan rasa optimistisnya di tahun 2014 ini, yaitu 112 perusahaan atau total keseluruhannya akan menyepakati renegosiasi ini.
"Karena kita terangkan ke mereka ini kan mewakili UU, dan ini baik untuk menyelamatkan bumi kita, dan tambah lapangan pekerjaan," ungkap Jero Wacik (dikutip dari okezone.com).
Dan belakangan beberapa poin dari UU Minerba dipermasalahkan oleh pihak perusahaan tambang dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kondisi politik di Pemilu 2014 juga digunakan sebagai alasan pihak perusahaan tambang dan pemerintah untuk menunda-nunda penandatanganan nota kesepakatan.
Tidak Semua Pejabat ‘AGRESIF’
Hari ini Rabu 26 Maret 2014, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mahmudin Yasin, melaporkan bahwaPT Freeport sudah menunggak dividen selama 2 tahun, dengan jumlah sebesar 1,5 triliyun Rupiah per tahun. Sangat disayangkan tidak semua pejabat mau bersikap tegas untuk masalah pertambangan seperti Abraham Samad.
Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian hanya menanggapinya dengan santai,
"Saya belum tahu, tapi saya tidak yakin Freeport menahan itu (dividen). Mungkin soal administrasi saja," bela Hatta untuk Freeport (dikutip dari liputan6.com).
Dan Hatta Rajasa lebih memilih melemparkan tanggapannya untuk Menteri Keuangan Chatib Basri, yang menurutnya, Menkeu yang harus menagih setoran dividen tersebut yang rata-rata senilai Rp 1,5 triliun per tahun.
"Sudah jadi kewajiban Menkeu untuk mengecek, karena kalau ada profit atau keuntungan, dividen harus dibayarkan. Kalau tidak dikasih, wajib diminta," tegas Hatta Rajasa (dikutip dari liputan6.com).
Dengan tindakan-tindakan ‘SANTAI’ dari para menteri seperti ini, sebenarnya membuat kondisi keuangan negara semakin sulit. Bukan hanya karena tunggakan PT Freeport, negara juga kehilangan kesempatan untuk mengelola dividen tersebut selama 2 tahun. Apalagi ditambah dengan beberapa sektor industri negara yang tidak berkembang.
Abraham Samad: “Kita Tak Punya Kedaulatan."
Usaha KPK dalam memahami masalah antara pemerintah dengan pengusaha tambang ternyata tidak baru-baru ini saja. KPK pernah mengumpulkan para pengusaha tambang, dan mengajukan pertanyaan tentang alasan para pengusaha tambang enggan membayarkan royalti kepada negara. Dan jawaban mereka ‘STANDAR’,
"Pak, duit saya sudah saya bayar untuk di luar (kas negara). Untuk menyuap bupati, gubernur, pejabat di kementerian. Karena kalau tak melakukan suap, izin pertambangan kami bisa diputus di tengah jalan," ujar Abraham menirukan jawaban para pengusaha (dikutip dari tempo.co).
Abraham juga mengungkap isi persoalan kontrak pertambangan yang mayoritas dikuasai perusahaan asing, bahwa Indonesia hanya menerima 20 persen, dan yang 80 persen ke luar negeri. Dan menurutnya jika ini dibiarkan terus maka bangsa Indonesia akan sangat kesulitan mendapatkan pemasukan dari usaha pertambangan. Mungkin lebih buruk lagi INDONESIA akan tidak memiliki kedaulatan.
Jika dilihat dari sudut pandangnya, Abraham Samad sebagai pihak yang tidak memiliki otoritas di dalam pembuatan undang-undang atau regulasi, menginginkan agar pemerintah lebih ketat lagi, terutama dalam aturan soal keluarnya izin penambangan. Keinginannya itu pun sebenarnya mewakili fungsi KPK yang sangat membutuhkan kejelasan pemerintah dalam membuat kebijakan dan UU di berbagai bidang.
***
Negara berdaulat seharusnya memiliki kendali penuh atas segala sesuatu yang menjadi miliknya, termasuk sumber daya alam. Indonesia sebagai negara yang dikenal dengan kekayaan alamnya, sudah terlalu sering kehilangan hak eksklusif untuk mengelola dan mendapatkan hasil dari alamnya sendiri. Dan menurut saya solusinya hanya satu: Pemerintahan baru yang cerdas dan tegas, yang berani mengubah sistem di berbagai bidang.
Mari kita tunggu tanggal mainnya…
[Djoel]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H