Mohon tunggu...
Engly Ndaomanu
Engly Ndaomanu Mohon Tunggu... Ilmuwan - Saintis

Saya adalah seorang mahasiswa yang sementara menuntut ilmu di jurusan fisika, fakultas sains dan teknik, UNDANA. Sekilas tentang saya, saya adalah seorang manusia biasa yang melakukan perkara - perkara biasa, namun saya bangga karena memiliki Tuhan yang luar biasa, yang telah ,melakukan banyak perkara yang luar biasa di dalam diriku yang biasa - biasa ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka Tapi Mati!

28 November 2014   04:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:39 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bangsa Indonesia, bulan November mengingatkan kita pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Suatu kejadian yang bisa dibilang sebagai kisah menyedihkan atau kisah tragis yang menandai perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh pada 17 Agustus 1945. Betapa tidak, ribuan nyawa terenggut untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan bagi Indonesia. Begitu heroiknya kisah tersebut, sehingga pada tanggal 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan. Bulan November membawa memori kita kepada sebuah kisah pedih, pilu dan mengharukan namun membanggakan. Kisah 10 November 1945 adalah sebuah kisah yang mencerminkan wajah rakyat Indonesia, semangat perjuangan bangsa dan pengorbanan yang besar untuk sebuah kehidupan yang merdeka, bebas dari penjajahan asing dan dapat secara mandiri menentukan kehidupannya.

Rakyat bertempur mati-matian di medan perang dengan semangat membara, “dibakar” oleh orasi hebat Bung Tomo yang terkenal itu “dengarkanlah ini tentara inggris, ini jawaban kita, ini jawaban rakyat Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia,kepada kau sekalian….. lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

Ya, mereka bertempur hanya untuk 2 kemungkinan, merdeka atau mati !. Pernyataan atau slogan itu mengimplikasikan sebuah pengertian bahwa ketika kita merdeka, kita tidak akan “mati” namun ketika kemerdekaan itu tak diraih, maka kita akan “mati” sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan akan direnggut dan negara Indonesia yang baru berumur kurang dari 2 bulan itu, akan segera mati.

Kini sudah 69 tahun berlalu, perjuangan mereka telah membuat kita tetap hidup sebagai negara merdeka hingga saat ini. Bangsa Indonesia telah merdeka !Namun ditengah polemik bangsa saat ini, pernyataan itu telah menimbulkan pertanyaan besar “benarkah Indonesia telah merdeka ? benarkah kita telah ‘hidup’ sebagai sebuah bangsa yang benar-benar merdeka? “ Kenyataannya kita masih “dijajah” oleh berbagai macam persoalan kebangsaan. Korupsi yang merajalela seakan telah menjadi budaya bangsa ini, kemiskinan, kesenjangan sosial yang tinggi, pembangunan yang tak merata disegala bidang, pendidikan yang tak bisa dinikmati oleh semua anak Indonesiasecara merata, rasa ego dan rebutan kekuasaan yang dipraktekan oleh para elit politik dalam gedung DPR dan berbagai persoalan lainnya seolah membuat kemerdekaan hanya untuk beberapa kalangan saja. 69 tahun proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan, bagian barat Indonesia terasa jauh lebih “hidup” dibandingkan dengan kawasan timur Indonesia. Apakah keadaan seperti itu yang namanya “merdeka” ? .

Jika dulu Indonesia dihadapkan pada pilihan Merdeka atau mati, maka saat ini situasinya berbeda. Indonesia saat ini berbeda dengan dulu. Mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaan bangsa kita saat ini adalah Merdeka tapi mati !.

Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Secara jumlah, Indonesia menempati urutan ke 4 penduduk terbanyak didunia, demikian gambaran World Economic Forum(WEF) tahun 2010. Namun secara kualitas hidup, kita berada pada posisi yang tidak begitu menggembirakan. Masih menurut WEF, Indeks Persepsi Korupsi 2010 berada di urutan 110 dari 178 negara, sementara menurut Transparency International tahun 2013, Indonesia berada di urutan 114 dari 177 negara di dunia. Lebih lanjut WEF mencatat posisi Indonesia dari 139 negara, berada pada posisi 62 untuk tingkat kesehatan dan pendidikan dasar, ranking 91 untuk kategori harapan hidup, urutan 97 angka kematian bayi, dan 69 dalam sektor pendidikan, sehingga menempatkan Indonesia dalam urutan ke-61 negara yang terancam gagal.

Menurut United Nation Development Program pada tahun 2011, posisi Indonesia untuk kategori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada pada tingkatan ke-124 dari 187 negara. Indonesia masih kalah jauh dari Singapura (26), Brunei (33), Malaysia (66), Thailand (103) dan Filipina (112). Berdasarkan laporan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) per Juni 2011, negara kita tercinta dengan beragam potensi alam yang dimilikinya, tidak tergolong ke dalam kelompok 10 besar negara eksportir teratas (leading exporters), tetapi pada juru kunci (ke-30). Ironisnya, Singapura yang tanpa sumber daya alam berada dalam kelompok leading exporter (urutan ke-14), sedangkan Indonesia masuk ke dalam kelompok leading importer untuk produk-produk sumber daya alam (urutan ke-14 dari 15 negara).Memang sungguh ironis, negara dengan potensi alam terbesar di Asia Tenggara seperti Indonesia, hanya mampu jadi pembeli bukan penyedia.The Economist Intelligence Unit (sister company dari majalah The Economist) melakukan survey terhadap 80 negara untuk kriteria negara terbaik sebagai tempat kelahiran pada 2013, enam negara terbaik berturut-turut adalah Swiss, Australia, Norwegia, Swedia, Denmark, Singapura. Lalu Amerika (ke-16), Thailand (ke-50), Filipina (ke-63), Vietnam (ke-68), dan Indonesia (ke-71).

Itulah gambaran bangsa kita tercinta, Indonesia. Dengan keadaan seperti yang digambarkan diatas, maka menurut saya tidaklah berlebihan ketika slogan “Merdeka tapi mati” disematkan kepada bangsa ini. Secara politik, Indonesia memang hidup sebagai negara merdeka dan berdaulat, namun secara ekonomi, kualitas hidup dan harapan hidup, kita masih terjajah. Kita memang merdeka, merdeka tapi mati. Para elit politik terlalu sibuk memikirkan kursi, jabatan dan posisi untuk keuntungan pribadi. Mereka melupakan rakyat yang telah berjasa membawa mereka menuju puncak. Rakyat miskin tetap miskin, mereka yang kaya tetap kaya. Janji para wakil rakyat hanya retorika. Pejabat-pejabat dan wakil rakyat merayakan dan menggembar-gemborkan demokrasi, namun rakyat mati diatas demokrasi.

Indonesia di mata dunia memang sangat menyedihkan dan itu diluar dugaan siapapun, mengingat segala hal yang dimiliki oleh bangsa ini. Dengan segala potensi yang kita miliki, harusnya kita bisa menjadi yang terdepan, kita bisa menjadi leader dan bukan hanya follower. Kita punya banyak sumber daya alam, namun kekurangan sumber daya manusia.

Lalu bagaimana dengan NTT ? sudah sejauh mana Nusa Tenggara Timur memberikan sumbangsih untuk kemajuan Indonesia ? bagaimana posisi Nusa Tenggara Timur di mata Indonesia ?

Kompas.com ditahun 2012 mencatat, NTT berada pada posisi 4 besar provinsi termiskin di Indonesia dengan persentase kemiskinan 20,21 %. Menurut situs nttprov.go.id, jumlah penduduk Nusa Tenggara Timur Tahun 2012 sebanyak 5.343.902 jiwa atau bertambah 549.802 jiwa atau naik 11,47 %. Bertambahnya penduduk berpengaruh terhadap tingkat kecepatan penurunan kemiskinan penduduk.Penurunan penduduk miskin tahun 2012 sebanyak 13.800 jiwa atau 0,07%. Rendahnya penurunan kemiskinan akumulatif akibat tambahan penduduk yang pesat dan meningkatnya garis kemiskinan.Persentase penduduk miskin di NTT pada bulan September 2012 sebesar 20,41 persen turun sebesar 0,07 persen dari 20,48 persen pada September 2011. Berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode September 2011 s/d September 2012, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan berubah dari 10,47 persen menjadi 12,21 persen atau naik sebesar 1,74 persen sementara daerah perdesaan mengalami penurunan dengan persentase sebesar 0,52 persen.Walaupun turun, secara absolut naik sebesar 13,8 ribu orang dari 986,50 ribu orang menjadi 1.000,29 ribu orang pada periode yang sama.Persentase kemiskinan NTT naik secara absolut, menandakan bahwa secara kualitas kemiskinan mengalami peningkatan, keparahan kemiskinan rakyat NTT meningkat.

Dalam sektor pendidikan, NTT berada dalam situasi yang memprihatinkan. Itulah yang dikatakan oleh komisi X DPR RI pada 18 juli 2012 dalam situs resminya. Para anggota DPR tersebut menyatakan bahwa NTT sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Pulau Jawa ataupun Sumatera. Kurangnya tenaga Guru dan sarana-pra sarana belajar membuat NTT benar-benar sangat jauh terpuruk. Jika dilihat dari angka kelulusan siswa, Prestasi pendidikan di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 juga sangat menyedihkan, dari jumlah peserta yang mengikuti ujian nasional sebanyak 35.201, hanya 16.868 atau 47,59% yang dinyatakan lulus, sedangkan siswa yang tidak lulus sebanyak 18.333 atau 52,08 % yang mengakibatkan Nusa Tenggara Timur berada diperingkat 33 dari 33 provinsi di Indonesia.

Di tahun 2011, meskipun presentase kelulusan siswa meningkat dari tahun sebelumnya (47,59% menjadi 94,43%) namun hasil tersebut belum mampu untuk membuat NTT beranjak meninggalkan posisi ke 33 dari 33 propinsi di Indonesia. Sungguh suatu prestasi yang luar biasa jelek dan sangat memalukan. Meskipun ada peningkatan di tahun 2012 dan 2013, namun NTT tetap saja berada dalam 5 besar terbawah.

Memang benar bahwa hasil ujian nasional saja tidak dapat merepresentasikan keadaan pendidikan di NTT, masih banyak masalah lain yang mempengaruhinya. Saya percaya bahwa kita, orang NTT bukanlah orang yang bodoh secara intelektual, namun masalahnya adalah kita tidak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi semua kemampuan yang kita miliki melalui sekolah yang berkualitas. Pemerintah cenderung acuh tak acuh dengan situasi pendidikan kita. Sejak beberapa tahun yang lalu, NTT memang sudah disorot sebagai provinsi terkorup, termiskin dan terbodoh, namun apa yang sudah dilakukan pemerintah kita untuk mengangkat NTT dari keterpurukan? pemerintah, dalam hal ini Gubernur yang telah 2 periode memimpin NTT dan seluruh jajarannya seolah diam tanpa kata dan tindakan menikmati “pertunjukan” penghinaan yang ditujukan kepada rakyatnya. Mereka terkesan diam saja ketika anak-anak NTT merindukan sekolah namun tidak bisa bersekolah karena terkendala berbagai persoalan. Pemerintah kita seolah bangga dengan predikat terkorup, termiskin, dan terbodoh. Data pendidikan terbaru menurut nttprov.go.id menunjukan masyarakat yang tidak memiliki ijazah 31%, tamat SD 31,04%, tamat SMP 12,67%, tamat SMA 11,45%, tamat SMK 2,98% dan 4,82% tamat DI hingga S3. Lihat saja, yang tidak punya ijazah (tidak menamatkan SD), jumlahnya jauh lebih banyak dari yang menamatkan pendidikan tingkat atas dan universitas. Mau dibawa kemana negeri ini jika sumber daya manusianya lemah dan tak punya daya saing? Perkembangan pendidikan kita seolah berjalan ditempat. kalau begini, mungkin saja NTT lah yang menjadi penyuplai terbesar kegagalan Indonesia di mata dunia.

Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat Indonesia yang berada di NTT ini ? apakah kita juga harus meniru pemimpin kita yang hanya diam tanpa kata dan tindakan ? Sadarilah, mungkin untuk situasi seperti inilah, maka kita ada di NTT. Untuk situasi seperti inilah maka kita ada sebagai warga negara Indonesia. Saatnya kita harus bangkit dari keterpurukan. Kita harus benar-benar merdeka, merdeka dan hidup.

Untuk melepaskan NTT dari predikat-predikat ‘hebat” yang memalukan itu, saya berpendapat bahwa kita, masyarakat dan pemerintah NTT harus berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita.Sebab tanpa pendidikan yang baik, suatu negara tidak akan bisa lepas dari keterpurukan. Belajar dari negara Singapura yang tidak punya sumber daya alam yang berkualitas namun dapat menjadi negara hebat, bahkan jauh lebih hebat dari Indonesia dikarenakan keseriusan mereka untuk mengembangkan sektor pendidikan. Dana-dana untuk pendidikan, riset, sarana-prasarana belajar harus benar-benar digunakan dengan baik untuk pengembangan pendidikan yang berkualitas, jangan hanya dikonsumsi oleh para pemegang kekuasaan.

Masalah pendidikan NTT memang banyak. Dimulai dari ketersediaan tenaga guru yang berkualitas dan merata disegala sekolah di bumi nusa cendana,jumlah sekolah-sekolah yang terbatas disetiap desa juga perlu diperhatikan. Ada kalanya setiap desa hanya memiliki sebuah sekolah dan itu sangat menyulitkan para siswa untuk mengenyam pendidikan apalagi jika jaraknya jauh dari rumah. Sebagai contoh, baru-baru ini, tanggal 31 Oktober-2 November, saya dan mahasiswa serta dosen jurusan Fisika, FST-Undana mengunjungi sebuah desa, desa Tuapakas, Kecamatan Kualin, Kab. TTS.Di sana, kami temui hal-hal yang sangat memprihatinkan, khususnya untuk keadaan pendidikan mereka. SD ada 4 sekolah, namun dengan jumlah guru yang terbatas. Desa itu cukup luas dengan jumlah anak usia sekolah yang banyak, namun mereka hanya memiliki sebuah sekolah setingkat SMP dan sebuah sekolah setingkat SMA. Bayangkan saja, output dari 4 buah sekolah tingkat SD menjadi input dari hanya sebuah sekolah tingkat SMP dengan jumlah guru dan fasilitas yang tak memadai. Dan yang lebih parah, mereka tidak bisa belajar dengan maksimal karena belum bisa menikmati listrik. Ditengah zaman tekhnologi sekarang ini, sungguh memprihatinkan jika “tulang punggung” bangsa dan negara Indonesia di NTT tidak dapat menikmati listrik. Dengan keadaan itu, mungkinkah mereka bisa bersaing di tingkat nasional ataupun global? sungguh tak dapat dibayangkan kerumitannya. Jika hal itu terus terjadi, apa jadinya pendidikan di sana? Hal itu telah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu, namun apakah yang sudah pemerintah lakukan? Tidak ada penambahan jumlah guru sampai sekarang, hanya dana DEBEB yang diberikan pada tahun 2007 dengan jumlah yang tak cukup untuk pembangunan gedung sekolah dan penambahan fasilitas belajar yang memadai.

Jika demikian, maka cita-cita kita untuk melihat Indonesia yang merdeka secara utuh akan sulit terwujud. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu menyiapkan sarana-prasarana yang memadai, seperti alat transportasi, listrik, komputer, internet, keadaan kelas yang nyaman dan aman untuk belajar, buku-buku yang berkualitas, laboratorium dan berbagai perlengkapan dan peralatan lainnya.

Sejarah mencatat, Indonesia bisa merdeka dikarenakan adanya orang-orang cendekiawan seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, dll yang telah belajar dengan mati-matian untuk kemajuan bangsanya. Indonesia bisa merdeka karena adanya pendidikan yang baik, tekad dan rasa kebangsaan yang kuat. Seperti slogan salah satu lembaga penyedia beasiswa “pendidikan bukan segalanya, namun segalanya dimulai dari pendidikan”. Ya, semuanya memang dimulai dari pendidikan. Kita tidak bodoh, kita hanya kurang kesempatan untuk belajar. Kita tidak miskin, hanya kurang pengetahuan dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah. Kita tidak terpuruk, hanya butuh sedikit waktu dan sedikit keberanian untuk bangkit. Oleh karena itu, mari pemuda-pemudi Indonesia, ini saatnya bagi kita hai pemuda/i NTT, saatnya untuk belajar sebaik mungkin demi kemajuan bangsa. Untuk para pemimpin dan pemegang kekuasaan, kami memilihmu untuk menggantungkan hidup kami kepadamu. Jangan hilangkan kejujuran, kepedulian dan kasih kepada rakyat hanya demi uang dan kepuasan pribadi. Dimanakah integritasmu sebagai pemimpin bangsa? Dimanakah kehormatanmu sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan di negeri ini dan di provinsi ini ? Dapatkah rakyat berharap padamu ? Akankah kami mendapatkan kemerdekaan dan kehidupan kami kembali ?

Sebagai rakyat bangsa ini, mari bersama-sama kita bangkit. Ini tugas kita semua, ini tugas pemerintah, pelajar, orang tua, dan masyarakat pada umumnya. Bangkitkan semangat kebangsaanmu, bangun Indonesia dengan membangun NTT lewat semua potensi yang engkau miliki.

Indonesia memang sedang terpuruk, NTT juga berada dalam keadaan yang memprihatinkan, tapi harapan pasti akan selalu ada. Indonesia sekarang masih berada dalam euforia “the new hope” melalui pemerintahan Jokowi – JK, mungkinkah harapan baru itu akan muncul melalui mereka ? berdoalah, semoga memang demikian. Berdoalah juga dan bekerja sebaik mungkin agar harapan baru itu juga dimunculkan melalui dirimu.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno pernah berkata “JAS MERAH ; Jangan sekali-kali kau melupakan sejarah”. Maka sebagai penutup dikesempatan kali ini, saya ingin mengatakan “JAS KULIT ; Jangan Sekali-kali Kau Lupakan Indonesia Tercinta” . Berdoalah dan BERMAIN (Bekerja Maksimal Untuk Indonesia) sehingga pada akhirnya nanti, kita boleh benar-benar merdeka. Merdeka dan sejahtera, bukan merdeka tapi mati.

Oleh : Engly Heryanto Ndaomanu, S.Si

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun