Mohon tunggu...
Engkus Kusriah (La Syakka)
Engkus Kusriah (La Syakka) Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Writer, Motivator, Mompreneur, Moslem Counselor

Lulusan S1 Bahasa Inggris, S2 Psikology. Aktivitas saat ini adalah mengajar, bisnis, dakwah, mengelola La Syakka Taman Baca, mengelola La Syakka Majlis Ta'lim, mengelola blog pribadi, dan menulis. Menulis adalah nyawa yang bisa menghidupkan kebisuan, menumpahkan segala asa dan rasa tanpa ragu, karenanya ia memiliki nama pena LASYAKKA yang artinya jangan ragu. Dua karya solo telah dihasilkan “Merindu Khusyuk dan Rentang Rindu Ramadhan”, serta 14 buku antologi.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Masih Adakah Jejak Ramadhanmu di Bulan Syawal ini?

27 Mei 2021   08:32 Diperbarui: 27 Mei 2021   08:35 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Apa yang harus dilakukan saat Ramadhan pergi, namun amalannya tetap membekas dalam kehidupan sehari-hari?)

Di era para sahabat dulu pada hari-hari terakhir Ramadhan, jamaah Masjid Nabawi membludak, mereka hadir di sana beribadah semakin intens, semakin berpacu. Ibarat seorang pelari yang mendekati garis finish, maka dengan kekuatan penuh semakin memaksimalkan diri, segala kemampuan dikerahkan. Bagaimana dengan zaman kita saat ini? Kalau kita bandingkan dengan generasi mereka salafus soleh, sungguh jauh perbedaan itu dalam menyikapi bulan suci Ramadhan. Mulai dari persiapannya, pelaksanaannya, maupun saat-saat berpisah dengannya.

Saat Ramadhan berakhir mereka menangis, merasa sedih ditinggalkan Ramadhan. Bahkan disebutkan pun para malaikat, tujuh lapis langit dan bumi bersedih tatkala mengetahui Ramadhan pergi. Rasulullah mengatakan ini sungguh musibah besar ketika seorang muslim berpisah dengan Ramadhan, mengapa? karena ia berpisah dengan bulan di mana semua amalan pahalanya dilipat gandakan, bulan ampunan, bulan penuh berkah, bulan di mana pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup.

Mengapa para sahabat bercucuran air mata saat keluar dari Masjid Nabawi di hari terakir Ramadhan?

  1. Mereka khawatir jika puasa dan segala amal ibadahnya di bulan Ramadhan tidak diterima di sisi Allah SWT. Mereka khawatir jika ternyata puasanya tak bernilai, tak mendapatkan pahala, hanya sebatas menahan lapar dan haus saja.  Bagaimana dengan kita? Kok bisa dengan pedenya bahwa kita seolah sudah menjalankan puasa dengan sempurna, sesuai dengan ketentuan-Nya? Sedangkan para sahabat yang hidupnya dekat dengan nabi, jihad bersama nabi, mendapat bimbingan langsung dari nabi, tapi mereka gelisah dengan ibadahnya. Sementara kita, mengapa begitu yakin jika puasa kita diterima?  Merasa ibadah kita baik-baik saja? Astaghfirullah.  
  2. Mereka khawatir jika itu adalah Ramadhan terakhir baginya. Mereka bersedih takut tidak dipertemukan lagi dengan Ramadhan berikutnya. Apakah kita juga pernah berpikir demikian? Atau cukup dengan mengatakan, "ya sudah jalani saja, santai."
  3. Mereka khawatir saat Ramadhan berakhir dosa-dosanyanya belum diampuni. Rasululah bersabda, "Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka!" Lalu para sahabat bertanya, "Siapa ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Mereka yang berjumpa Ramadhan dan ketika Ramadhan usai dosa-dosanya belum diampuni." Seolah Rasulullah ingin mengatakan, sungguh keterlaluan mereka yang diberikan kesempatan untuk banyak beribadah dan memohon ampunan tapi tidak dimanfaatkan. Seharusnya bersyukur Allah memberikan peluang untuk digunakan sebaik mungkin. Kalaulah Ramadhan tidak berhasil mendidik kita, dengan cara apalagi Allah harus menyadarkan kita? Apakah menunggu diberikan adzab dan bencana? Menunggu diberi sakit yang tak bisa disembuhkan? Menunggu sampai tua renta? Menunggu ajal tiba? Astaghfirullah.

Kini kita bertanya pada diri, apakah kita berduka saat ditinggal Ramadhan? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, apakah ketika Ramadhan pergi kita sungguh bersedih saat itu? Atau biasa saja, gak ada kesan? Ataukah malah lebih parah lagi sudah sibuk dengan urusan dunia, baju baru, kue lebaran, buat jajan, planning mudik, planning reunian, dsb.

Saat Ramadhan pergi ada tiga golongan menyikapinya dengan cara yang berbeda :

  1. Mereka yang bersedih seperti yang disebutkan di atas penjelasannya.
  2. Mereka yang bahagia karena merasa terbebas, puasa serasa menyiksa dirinya, ia terus menghitung hari kapan berakhir, ia menghitungnya bukan karena takut ditinggalkan lalu berusaha meningkatkan amalan, tapi karena ia merasa dibelenggu. Seharusnya  syetan yang merasa dibelenggu saat bulan suci Ramadhan, tapi ada juga manusia yang merasa tersiksa dengan Ramadhan, menderita menahan lapar dan haus, menderita harus repot tarawih. Merasa tersiksa gak bisa berkata semaunya, terpenjara karena gak bebas jalan-jalan, gak bisa asyik nongkrong dan ngerumpi, puasa serasa menghalangi geraknya. Na'udzu billahi min dzalik.
  3. Mereka yang merasa bahagia karena selesai puasa sudah menanti banyak acara kesenangan, bisa berfoya-foya makan enak, berpesta ria, bisa mudik bukan untuk silaturahim tapi untuk  jalan-jalan kumpul teman, lalu hura-hura.

Ramadhan adalah sekolah yang telah menempa kita untuk menjadi orang yang bertakwa. Kita setengah dipaksa, dikondisikan untuk berpuasa, tilawah, tarawih, dan banyak bersedekah. Bahkan kita berusaha menjaga lisan, menghindari perbuatan buruk, karena takut puasanya batal ataupun pahalanya berkurang. Kita menahan diri menghindari maksiat karena merasa diri sedang berpuasa, belajar lebih sopan, santun, melembutkan hati dan banyak melakukan kebaikan.

Kebiasaan baik di bulan Ramadhan itu seharusnya tidak menghilang bersama pulangnya Ramadhan. Aktivitas ibadah yang luar biasa seharusnya tidak pergi seiring kepergiannya. Idealnya nilai-nilai itu tetap membekas dalam kehidupan sehari-hari. Semestinya jejak-jejak ibadah itu terlihat nyata hari ini. Masih adakah hasil gembelengan Ramdahan itu di bulan Syawal ini? Kalaulah di Syawal saja aktivitas ibadah kita sudah mulai menurun, maka apa yang akan terjadi di bulan berikutnya? Apa yang harus dilakukan agar ruh Ramadhan masih melekat bersama kita? Bagaimana cara menjaga agar energinya tetap ada? Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan :

  1. Senantiasa berdoa agar semua amalan selama Ramadhan diterima Allah SWT, berharap dicatatkan sebagai amalan kebaikan dan mendapat pahala dari-Nya.
  2. Berdoa agar diberikan kesempatan jumpa Ramadhan tahun berikutnya, diberikan umur panjang untuk terus berlomba meraih pahala sebanyak mungkin.
  3. Berdoa agar diberikan kekuatan untuk mempersiapkannya lebih baik dari sebelumnya, diberikan kemampuan untuk sungguh-sungguh menyambutnya.
  4. Sungguh-sungguh mempersiapkannya sedini mungkin sebelum Ramadhan tiba. Menunjukkan penyesalan, tidak sebatas untaian doa, tapi persiapan itu bebar-benar dilakukan sejak sekarang. Mulai membiasakan puasa sunah, sholat sunah terutama qiyamul lail, tilawah, membiasakan bersedekah. Karena mereka yang berprestasi adalah mereka yang senantiasa berlatih terus-menerus, prestasi apapun itu, perlombaan apapun itu. Ramadhan adalah bulan olympiade ibadah, dimana semua jenis ibadah diperlombakan dengan tawaran hadiah berlipat pahala. Semua amalan yang sudah dibiasakan itu akan menjadi pondasi untuk membangun Ramadhan yang lebih kokoh di masa mendatang. Agar menjadi pemenang di bulan Ramadhan, bukan sekedar ikut-ikutan dan ibadah karbitan.

Dan terakhir, apakah kita termasuk lulusan Ramadhan terbaik? Setelah disekolahkan satu bulan penuh apakah ada hasilnya? Apakah kelihatan perubahannya? Tanyakan pada diri kita, lihat ibadah kita, lihat perbuatan kita, lihat perkataan kita dan sikap kita. Kita tengok ahlak kita yang sekarang, baik terhadap teman, tetangga, suami, anak, orang tua, apakah lebih baik dari tahun sebelumnya atau sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun