Hari ini sebenarnya sekolah libur tapi saya bermaksud berangkat ke sekolah karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya mengontak rekan saya, M, agar juga berangkat. Jawaban rekan saya via aplikasi Whatsapp mengagetkan saya.
"Saya tidak berangkat dulu pak bos, istri lg isman, kmrin dicek positif covid"Â
Saya ingat dua hari yang lalu hampir seharian saya bersama rekan saya itu di sekolah. Saya tanya bagaimana kondisi semua anggota keluarga beliau. Dikabarkannya bahwa kondisi secara umum masih baik. Anak-anaknya tidak menunjukkan gejala apa pun. Tapi istrinya kmarin merasa meriang. Dan sekarang dirinya pun merasa agak demam.Â
Saya hanya membalas melalui WA untuk mendoakan beliau sekeluarga supaya segera pulih dan sehat kembali. Jangan lupa minum vitamin dan suplemen, kata saya.Â
Tapi entah paranoid atau apa saya merasa jadi tidak enak badan. Saya batalkan berangkat ke sekolah dan mengabarkan kabar positifnya istri rekan saya ke beberapa orang di sekolah. Satu yang saya khususkan yaitu rekan yang posisinya sama dengan saya: dua hari lalu kontak dengan M. Saya berharap ia menjaga kontak dengan yang lain untuk berjaga-jaga seandainya terinfeksi virus. Â
Menemani kegalauan akan semakin merebaknya Covid-19 ini saya ingin menuliskan uneg-uneg saya tentang dua pihak yang saling bertolak belakang tentang Covid-19. Satu percaya bahwa Covid-19 ini asli adanya seperti pandemi-pandemi yang telah melanda dunia sebelumnya. Di lain pihak tidak percaya adanya virus ini dan berkeyakinan semua ini adalah rekayasa atau konspirasi.
Sebagai gambaran saja postingan Kementerian Kesehatan RI yang mengunggah update perkembangan Covid-19 banyak dikomentari orang-orang yang tidak percaya. Terkadang muncul emoticon tertawa tidak sesuai dengan kabar yang harusnya kita semua berduka.
Media sosial Facebook Imam B Prasodjo yang konsisten menyuarakan kewaspadaan semakin merebaknya Covid-19 terkadang diisi perundungan atau perdebatan dengan orang-orang yang menganggap Covid-19 rekayasa.
Percaya atau tidak terhadap Covid-19 bukti tak terbantahkan adanya rumah sakit yang kewalahan menangani pasien. (Lihat berita ini) Â Apakah pasien yang datang ini dipaksa ke rumah sakit? Tentunya tidak. Kondisi kesehatan yang memburuklah yang memaksanya masuk rumahsakit. Apakah pasien yang datang semua pasien Covid? Tidak juga. Tapi semakin banyak pasien jelas beban penanganan pasien-pasien semakin berat. Mudah-mudahan pelayanan rumah sakit tidak sampai collapse. Â
Bagi yang percaya Covid-19 ini konspirasi, tidak nyata ataupun rekayasa untuk mengurangi populasi manusia jangan-jangan teori konspirasi ini sengaja disebar. Agar orang-orang tidak percaya adanya pandemi ini sehingga mengabaikan bahaya yang sebenarnya nyata.Â
Jadi menurut saya percaya atau pun tidak tugas kita saat ini adalah berempati terhadap para korban yang telah meninggal dengan status positif Covid. Dan berempati terhadap para tenaga kesehatan yang terus berjuang langsung dalam penanganan pandemi. Tugas kita yang paling sederhana sekarang berusaha mematuhi anjuran pemerintah dengan mematuhi protokol kesehatan. Semoga Indonesia segera terbebas dari pandemi.Â