Berdasarkan informasi yang didapat dalam wawancara dengan beberapa masyarakat dan analis politik Suriah, sebagaimana disinggung diatas, ada 3 opini yang sedang dipikirkan rakyat Suriah saat ini.
Pertama, menjadikan Suriah sebuah negara demokratis tanpa adanya embel-embel sektarian. Pendapat ini muncul sebagai respon dari kejenuhan masyarakat yang menilai bahwa Assad dan kroninya telah menjalankan sistem pemerintahan yang sangat sektarian. Argumentasinya cukup sederhana, bahwa pembersihan total Suriah dari Assad, hanya dapat dilakukan dengan membuang semua bekas-bekas sektarian dalam pemerintahan. Maka tidak mengherankan, meskipun pemerintahan ke depan disebut akan melibatkan seluruh komponen, namun sekte-sekte sempalan Syiah pro Assad seperti Alawy, Ismaili dan Mursyidi semuanya tidak dilibatkan dalam rekrutmen personel lembaga keamanan baru yang tengah berlangsung saat ini. Opini ini mengesampingkan adanya pembentukan negara Islam di Suriah. Mereka beralasan bahwa Suriah adalah negara yang heterogen dengan berbagai agama, sekte suku dan budaya.
Opini kedua, Pemecahan Suriah menjadi beberapa wilayah kekuasaan berdasarkan aspirasi atau pembagian sektarian. Menurut mereka yang berpikiran seperti ini, kofllik panjang sektarian di Suriah hanya dapat diselesaikan dengan memberikan hak otonom bagi setiap kelompok sekte. Artinya, ke depan Suriah dapat saja dipecah paling tidak untuk pemerintahan Kurdi, Sunni dan Alawiyyin. Argumentasinya logis, bahwa konflik sektarian yang telah "mengakar" tidak semudah itu untuk diselesaikan, meskipun kelompok ini yakin terciptanya Pemerintah yang demokratis untuk Suriah secara utuh, namun hanya akan bersifat sementara saja, sebab demokrasi tetap tidak dapat memadamkan api sektarian yang memang telah menyala dalam sekam selama puluhan tahun.
Opini terakhir mengatakan bahwa masa depan Suriah hingga saat ini masih belum dapat ditebak, sebab pemain sesungguhnya dalam dinamika perpolitikan Suriah adalah kekuatan-kekuatan asing yang berkepentingan. Sosok-sosok yang muncul ke permukaan publik saat ini hanyalah cover saja yang menutup misi kekuatan luar. mereka berargumentasi bahwa perubahan koalisi, ideologi, keberpihakan dari gerakan-gerakan oposisi yang selama ini ingin menjatuhkan Assad, dinilai sangat dinamis. Betapa tidak, misalnya saja Al-Julani, yang dulu menjadi militansi Al-Qaeda, berpindah ke HTS, kemudian HTS yang sejak awal memperjuangkan terbentuknya negara Islam, kini terbuka dengan sistem apapun asal merangkul seluruh komponen. Perubahan dinamis ini mengisyaratkan adanya kekuatan dibalik setiap gerakan-gerakan tersebut.
Terkait poin terakhir ini, kita paham bahwa Turkiye sebagai negara tetangga memiliki kepentingan untuk menjaga teritorialnya dari berbagai ancaman keamanan maupun isu pengungsi, sementara Rusia yang memiliki pangkalan militer di Tartus memang telah lama menjadi sekutu Assad, seperti halnya dengan Iran. Keduanya tentu akan tetap mempertahankan pengaruhnya di Suriah agar tetap menyeimbangi pengaruh AS di kawasan. Sementara AS sendiri memang telah lama berseberangan dengan Assad, ISIS dan kelompok-kelompok yang mereka anggap gerakan terorisme.
Meskipun demikian, tiga skenario tersebut akan sangat tergantung pada kinerja pemerintahan transisi al-Bashir dalam melakukan lobbying kepada semua komponen, baik dalam maupun luar. Meskipun saat ini sisa-sisa rezim Assad tengah dikebiri, seperti pembubaran Partai Baath yang menjadi alat rezim, pengecualian Alawy, Mursyidi dan Ismaily dalam rekrutmen lembaga keamanan Negara, namun kita juga tidak bisa menafikan kemungkinan kembalinya rezim Assad dalam bentuk lain, sebab apabila pemerintahan baru yang nanti dibentuk justru lebih membuat rakyat tambah sengsara, nostalgia lama pasti akan tetap dirindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H