Setelah tumbang Minggu lalu(08/12), Rakyat Suriah yang memang sudah jengah dengan pemerintahan Bashar al-Assad segera turun ke jalan di Damaskus sambil bersorak gembira, tepuk tangan berlompatan sambil bergumam "inilah waktunya kekuasaan kembali ke tangan rakyat".
Rakyat Suriah sudah jengkel dengan intimidasi Assad paling tidak sejak Arab Spring, atau tergulingnya rezim-rezim diktator di Timur Tengah. Salah satu sopir taksi di Damaskus pada pertengahan tahun 2018 pernah ditanya "Pak, mengapa banyak sekali pos-pos tentara disekitar kota ini? Dia menjawab, "Tentu saja, karena saya yakin kira-kira setengah dari jumlah penduduk di Damaskus ini adalah intelnya Assad! Mendengar jawaban itu, penanya cuma terdiam untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Melihat peristiwa demokratisasi ini kita paham bahwa transisi sebuah negara non-demokratis menuju negara demokratis tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Terkadang, bahkan sering terjadi, alih-alih menjadi sebuah negara demokratis, bekas-bekas dari rezim otoritarian yang telah terguling justru sering kembali berkuasa dalam bentuk lain seperti yang terjadi pada dua negara di Timur Tengah belakangan ini. Â Oleh sebab itu pertanyaan seriusnya adalah skenario apa yang selanjutnya akan terjadi di Suriah pasca Assad?
Pertanyaan ini memang tidak mudah untuk dijawab, sebab untuk memahami pokok persoalan di Suriah, dibutuhkan akses paing tidak terhadap berbagai informasi 25 tahun ke belakang, namun demikian, berbagai peristiwa kemarin seperti jatuhnya Assad, konflik sektarian, berbagai pernyataan oposisi, opini publik, termasuk respon negara-negara asing yang memiliki kepentingan, mungkin dapat menjadi sumber informasi untuk menganalisa skenario yang mungkin akan terjadi.
Paling tidak ada tiga opini yang berkembang saat ini, mulai dari transformasi Suriah menjadi negara demokratis, pemecahan Suriah menjadi beberapa kekuasaan berdasarkan sektarian, hingga peran kekuatan-kekuatan asing.
Jatuhnya Assad adalah bagian paling seru dari sekian lama turbulensi politik di Suriah. Secara singkat, penggulingan Assad secara serius dimulai sejak tanggal 27 November, ketika pasukan oposisi yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan serangan dari markas mereka di Idlib kemudian bergerak ke selatan untuk merebut Damaskus dan sekitarnya. Operasi tersebut membuahkan hasil, dua minggu setelahnya, sebagian besar wilayah selatan Suriah berhasil dikuasai. Banyak faktor yang menjelaskan keberhasilan ini, antara lain sebagaimana mengutip Aljazeera (10/12), gerakan penggulingan Assad oleh oposisi rupanya juga diikuti oleh masyarakat sipil yang memang telah lama ingin masuk dalan barisan penggulingan Assad.
Melihat besarnya intensitas serangan oposisi yang mendekati Damaskus, tentara Assad mulai gentar. Sebagaimana disebutkan berbagai media, Sabtu (7/12), banyak tentara Assad yang secara sukarela membuang senjata dan melepas seragam mereka, kemudian bergabung dengan oposisi, sementara sebagian lain yang masih ragu, lebih memilih untuk melarikan dari pos-pos keamanan. Sebagaimana lazimnya, kocar-kacirnya institusi keamanan yang disertai pembelotan para tokoh-tokoh militernya, adalah dua indikator kejatuhan sebuah rezim otoritarian.
Kondisi menyerahnya tentara Assad ini membuat gerakan penggulingan menjadi semakin meluas di berbagai daerah termasuk Damaskus. Puncaknya adalah jatuhnya Bundaran Umayyah ke tangan oposisi pada Minggu pagi (8/12). Bundaran ini adalah jantung kota Damaskus, tempat berkantornya Menteri Pertahanan dan markas besar tentara. Pagi itu oposisi mengumumkan tumbangnya keuasaan Assad beserta anteknya. Kondisinya seperti yang dapat kita bayangkan, poster dan simbol-simbol Assad dinjak-injak oleh masyarakat dengan penuh emosional. Assad dikabarkan terbang ke Rusia dalam peristiwa ini.
Setelah Assad tumbang, berbagai aktor baik Al-Julani, pimpinan Haiah Tahrir Syam (HTS), maupun Al-Jalali, mantan Perdana Menteri Suriah, termasuk negara-negara asing yang berkepentingan di Suriah seperti Turkiye, Rusia, Iran dan AS, dalam kesempatan yang berbeda seluruhnya segera menyatakan respon yang nadanya hampir mirip, yaitu keterbukaan, kesiapan untuk bekerjasama dan harapan agar kekuasaan setelah Assad harus dapat merangkul semua pihak. Sangat jelas, pada masa transisi ini semua pihak menunggu dan berusaha mengambil hati rakyat. Pernyataan yang dinilai cukup mengagetkan adalah statemen Al-Julani, sebab banyak pengamat menilai bahwa Al-Julani sebenarnya memiliki misi untuk menggulingkan Assad dan menciptakan sebuah negara Islam di Suriah.
Selanjutnya, Pemerintahan transisi dibentuk dengan ditunjuknya Mohammed al-Bashir sebagai Perdana Menteri (PM). Pria kelahiran tahun 1983 ini merupkan seorang tokoh penting yang dulunya pernah menjabat sebagai PM Syrian Salvation Government, sebuah pemerintahan tandingan yang dibentuk HTS sejak tahun 2017. Al-Bashir diberi mandat hingga 1 Maret 2025 untuk menyelesaikan tugas utamanya yaitu memastikan transisi yang stabil dan damai hingga terbentuknya pemerintahan Suriah yang baru.