Hai, kuberi nama dia "koma". Layaknya tanda "koma" pada tulisan keluh kesah, pencapaian, atau apapun itu yang sempat kau tulis dalam buku diary yang tiap hari kau gengam kemana pun pergi. Coretan-coretan halus pada buku yang kau tulis dimana pun merasa bahwa cerita itu perlu kau tulis, di perpustakaan, di taman kota, atau di selasar rumah panggung dengan view gunung dan pantai yang saling berhimpit atau mungkin juga pada dinding toilet umum yang sering kau gunakan. Dengan tanda "koma" kau telah memberikan ruang untuk menikmati tulisanmu, setidak-tidaknya memberikan jeda bagi pembaca untuk menikmati plot yang kau inginkan.
Begitupun hari ini, "kuberi nama dia koma".
"Koma" sekedar mengisyaratkan dan memberi pilihan untuk menepi sejenak dari riuh-riuh manusia yang semakin melelahkan atau tetap bertarung tanpa arah. Setelah banyak hal yang terlewati, menepi dan mengambil jeda adalah bagian menikmati hidup paling menyenangkan, setidak-tidaknya memberikan quality time ke diri sendiri untuk merefleksi tentang langkah demi langkah yang terlewati. Atau kata Jazuli Imam dalam bukunya Pejalan Anarki yang ia sematkaan melalui El "Nikmatilah jeda terlalu banyak keindahan yang terlewatkan dalam ketergesa-gesaan".
Begitupun tulisan ini, "kuberi nama dia Koma"
Yah, tulisan ini juga "kuberi nama dia Koma", kumpulan tulisan acak yang orang-orang akan sulit memahami. Tulisan yang ditulis disaat jeda atas banyak hal yang yang belum sempat terselesaikan dengan baik. Tulisan yang sebatas omong kosong tanpa arah, sebatas penuangan atas isi kepala yang berderu dan sebuah nyanyian merdu tanpa usai.
Hai "Kuberi nama dia Koma". Mungkin tempat pulang, tempat bersandar, tempat memanjakan diri, dan mungkin juga tempat bercerita atau mungkin saja sebuah jeda setelah perjalanan panjang dengan cerita yang bertumpuk-tumpuk.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H