Kuseret koperku asal-asalan. Perjalanan panjang yang mesti kutempuh menyisakan penat yang sangat. Kuseka keringat yang mengalir di keningku, sesekali kukipas-kipaskan kerudung ke arah wajah. Sekedar mengurangi rasa panas terik yang menyengat.
September baru saja menapakkan kakinya. Mendung sudah lama pergi menghilang, menyisakan udara panas yang berdebu, juga tanaman yang meranggas. Beberapa malah sudah layu dan mengering.
Tak ada ojek yang biasa berseliweran di sepanjang jalan Desa Rangkat. Entah, mungkin karena kelarisan, mungkin sedang berteduh, atau mungkin sedang mengudap segelas dua gelas es sari tebu di kelokan jalan.
"Bunda Enggar? Beneran ini bunda?" kudengar teriakan tertahan dari balik punggungku. Aku menghentikan langkahku. Kutoleh siapa dia yang menegurku.
"Icha........,"Â belum juga kuselesaikan kalimatku, gadis itu sudah menghambur untuk memelukku.
"Icha kangen banget buundd......," serunya. Tangannya masih memelukku erat. Kuelus kepalanya penuh kasih.
Sambil berjalan bersisian, gadis itu bercerita panjang lebar tentang keadaan Desa Rangkat. Tentu saja banyak sekali cerita yang tak kuketahui. Sejak awal puasa, aku memang memutuskan untuk tetirah ke kampung halamanku. Disamping mengunjungi makam almarhum ayahku, aku juga menjaga ibu yang sendirian. Sebagai anak perempuan satu-satunya, ibu lebih sreg bila aku yang menemaninya di kampung.
=======
"Kita istirahat dulu di Pos Ronda yuuk bund.....," ajak Icha. Ia menghempaskan pantatnya ke lantai pos ronda asal-asalan. Tak dipedulikannya debu yang teronggok tebal di sana sini.
"Kok tumben pos rondanya kotor begini? Memangnya nggak pernah dibersihkan lagi ya?"
" Sekarang sepi bund. Tak ada lagi warga Rangkat yang ngumpul bareng siang siang. Sekedar rujakan, lotisan atau mengudap gorengan bareng bareng....," keluh Icha.