Mohon tunggu...
Engelina Marbun
Engelina Marbun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi PG-PAUD, FKIP

Suka tantangan dan hobi touring ke alam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menumbuhkan Kepercayaan Diri Sejak Usia Dini

21 Februari 2024   16:53 Diperbarui: 21 Februari 2024   17:00 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Percaya diri merupakan hal yang sangat diperlukan dalam diri manusia. Sikap percaya diri adalah hal positif yang dapat menjadi suatu keutamaan bagi seseorang untuk maju. Percaya diri juga dapat merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh seseorang. 

Percaya diri menjadi modal yang besar bagi setiap orang untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Tanpa adanya rasa percaya diri, seseorang akan merasa bahwa tidak memiliki kemampuan atau merasa minder dengan sesamanya karena tidak yakin akan hal-hal positif yang ada pada dirinya.  

Kepercayaan diri bukanlah faktor genetik (bawaan dari orang tua), melainkan faktor pola pengasuhan anak dan stimulasi yang diberikan oleh orang tua maupun orang disekitarnya terhadap seorang anak.  Kepercayaan diri itu menjadi penting karena anak akan nyaman dengan dirinya sendiri. 

Anak yang merasa nyaman dengan dirinya sendiri memiliki kepercayaan diri untuk mencoba hal-hal baru. Mereka lebih cenderung mencoba yang terbaik (Sumber: Kompas,2022). Pola pengasuhan orang tua sangat berperan dalam membentuk anak terutama anak usia dini (0-6) tahun. Anak adalah peniru yang baik. Maka, di usia dini hendaknya orang tua mengasuh anak dengan pola yang benar.

Pola asuh anak sangat mempengaruhi kepribadian dan karakter seorang anak, lingkungan pertemanan, kegiatannya setiap hari. Salah satu pola asuh yang dapat diterapkan pada anak adalah pola asuh otoritatif. Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh dimana orang tua mendorong anak agar mandiri, namun menerapkan batas-batas tertentu. 

Orang tua berdialog dengan anak untuk memilih apa yang mereka inginkan, namun tetap dalam pengawasan orang tua. Dalam pola asuh ini, anak merasa dihargai dan dicintai karena anak dilibatkan dalam menentukan jalan hidup mereka. Orang tua mendorong anak mandiri.

Pola asuh otoritatif memiliki peluang besar untuk menjadikan anak memiliki kepercayaan diri. Dengan kesempatan yang diberikan oleh orang tua untuk ikut terlibat dalam menentukan cita-citanya, anak akan mengenal dirinya dan berjuang untuk menggali potensi yang dimilikinya. 

Maka, sejak usia dini, orang tua perlu menerapkan pola asuh yang mampu membawa anak pada kemandirian dan kemampuan menghargai dirinya dan orang lain. Ada beberapa hal yang perlu diterapkan dalam menumbuhkan kepercayaan diri anak sejak usia dini dengan pola asuh otritatif.

Pertama, mendorong anak untuk memiliki kemandirian. Kemandirian yang dimiliki anak sangat memberi dampak positif bagi diri anak. Anak-anak hendaknya diajari bagaimana dapat menolong dirinya sendiri. Contoh: anak diajari memakai kaos kaki sendiri, makan sendiri, mengancing bajunya, merapikan mainannya sendiri. Membiarkan anak mandiri bukan berarti orang tua tidak peduli, tetapi dari kesempatan ini anak-anak akan belajar menyelesaikan masalahnya sendiri dan mengapresiasi dirinya sendiri atas keberhasilannya.

Kedua, memberikan pujian yang membangun dan secukupnya. Pujian adalah sesuatu yang sangat positif bagi anak. Namun, dalam memuji anak diperlukan kata-kata yang membangun dan otentik. Ketika anak dapat menyelesaikan sesuatu, anak tidak dipuji berlebihan. Contoh: ketika anak dapat memakai kaos kaki sendiri, anak hendaknya tidak diberi pujian dengan kata "kamu hebat, kamu pintar, atau luar biasa", melainkan orang tua hendaknya mengatakan "terimakasih, kamu sudah bisa memasang kaos kaki sendiri". 

Pujian yang otentik menjadikan anak memiliki pemikiran yang realistis, tetapi pujian kata-kata hebat, pintar, atau luar biasa, akan menjadikan anak memiliki pemahaman bahwa dia hebat, pintar dan luar biasa sehingga ketika anak mengalami kegagalan, anak sulit untuk menerima karena dalam pikirannya telah terekam kata hebat, pintar, luar biasa.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun