Mohon tunggu...
ENGELBERT DIMARA
ENGELBERT DIMARA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta dan Pengurus di LSM

Pemerhati Masyarakat Adat, Masalah-Masalah Sosial-Budaya, dan Lingkungan Hidup

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pulau Owi, Destinasi Pariwisata antara Rencana dan Kenyataan

3 Juli 2021   14:31 Diperbarui: 21 September 2021   12:09 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caver Buku Freddy Numberi

Oleh: Engelbert Dimara*

Tulisan ini merupakan suatu tinjauan terhadap buku "Keajaiban Pulau Owi:  Mutiara Terpendam di Wilayah Tanah Papua". Tinjauan ini saya lakukan dengan melihat antara konsep pembangunan pariwisata di Pulau Owi dengan kenyataan yang terjadi. Kemudian saya memberingan tanggapan dan saran sebagai bahan diskusi, tentang bagaimana sebaiknya pembangunan pariwisata di Pulau Owi. Namun sebelum itu sekilas perlu kita tahu dan kenal siapa penulis buku ini.

Sekilas Tentang Penulis Buku

Freddy Numberi, penulis buku ini adalah putra Papua pertama di Lingkungan TNI yang mencapai pangkat Laksamana Madja. Dia lahir di Serui Papua, 15 Oktober 1947. Dan menempuh jenjang Pendidikan SD hingga SMA (1960-1967) di Jayapura. Lalu masuk akademi militer (AKABRI Laut) pada tahun 1971.

Freddy Numberi mengukir prestasi militer dengan berbagai jabatan dan tugas di dalam dan di luar negeri. Pernah bertugas di Jerman dari 1992-1996. Kemudian ditugaskan sebagai Komandan Lantamal V/Maluku - Irian jaya, 1996-1998. Ini jabatan terakhir dalam karier militernya di TNI Angkatan Laut.  

Saat itu Freddy Numberi memilih mengakhiri karier militer dan menjadi Gubernur Provinsi Irian Jaya, 28 April 1998 -  29 Oktober 1999. Setelah itu menerima jabatan sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam Pemerintahaan Presiden Abdurahman Wahid 29 Oktober 1999-29 Agustus 2000.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri, Freddy Numberi ditugaskan sebagai Duta Besar. Yaitu Duta besar Luar Biasa Berkuasa Penuh  RI untuk Italia, Malta dan Albania, 18 Januari 2002-21 Oktober 2004.

Dan kemudian pada pemerintahaan Presiden Susilo Bambang Yughoyono periode 2004-2009, Freddy Numberi kembali diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam masa jabatan itulah buku ini ditulis. Tetapi baru mau mulai melaksanakan gagasan dan konsepnya, tentang pembangunan pariwisata di Pulau Owi, Freddy Numberi dipindahkan oleh SBY sebagai  Menteri Perhubungan.

Tentang Keajaiban Pulau Owi Sebagai Mutiara Terpendam

Mengapa penulis memberi judul buku ini "Keajaiaban Pulau Owi: Mutiara Terpendam di Wilayah Tanah Papua"? Pemberian judul buku ini terkait dengan rencana pengembangan pariwisata di wilayah Tanah Papua, khususnya kawasan Teluk Cenderawasih dengan Pulau Owi sebagai pintu masuk. Pulau Owi dipilih sebagai pintu masuk karena dinilai memiliki potensi pariwisata dengan Obyek dan Daya Tarik  Wisata (ODTW) yang tinggi. Diantaranya potensi wisata bahari, dan bekas peninggalan Perang Dunia II sebagai sejarah yang mempunyai daya tarik wisata yang tinggi. 

Semua potensi itu dinilai sebagai keajaiban dan mutiara yang terpendam, yang telah dijelaskan oleh penulis dalam buku ini. Tentang Keajaiban Pulau Owi ada tiga alasan yang dikemukakan, yaitu:

Pertama,  legenda tiga landasan pacu yang dibangun oleh Tentara Sekutu hanya dalam waktu satu minggu. Karena adanya suatu keajaiban, yakni batuan dasar dari ketiga landasan pacu di Pulau Owi itu adalah coral yang sangat keras. Dan ditutupi oleh humus yang tebalnya sekitar 30 sentimeter (hal. 102, 107).

Kedua,  Pulau Owi terasa ajaib karena dikelilingi oleh tiga taman laut yang begitu eksotis, yaitu Taman Laut Padaido, Taman Laut Pulau Rani-Mapia, dan Taman Laut Pulau Meos-Indi. Ketiga taman laut itu selain sebagai obyek wisata bahari, tetapi juga menyimpan nilai-nilai ilmiah seperti ekologi, biologi, arkeologi, dan paleontologi. Ketiganya menjadi laboratorium hidup yang memiliki nilai-nilai pendidikan dan pengetahuan yang sangat tinggi (hal. 102).

Ketiga, Pulau Owi dengan luas 820 hektar memiliki tata guna lahan, yang mengacu kepada rencana pembangunan Lanud Owi tahun 1944 oleh Sekutu (hal.102).

Lalu mengapa pula Pulau Owi dinilai sebagai mutiara terpendam? Ada dua alasan yang dijelaskan oleh penulis pada pengantar buku ini ( hal. xv):

Pertama, pada masa Perang Dunia II pulau ini ditemukan Tentara Sekutu (Amerika Serikat) sebagai landasan utama, untuk mematahkan kekuatan tentara Jepang. Karena terdapat 11.000 Tentara Jepang yang bertahan di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya, di Biak.

Kedua, landasan udara Pulau Owi dibangun untuk memenuhi batas waktu Tentara Sekutu, yang melalui Hollandia (Jayapura) menuju Morotai (Maluku). Untuk mencapai Filipina, yang harus berakhir (dengan kemenangan) dalam tahun 1944.

Itulah alasan-alasan yang membuat penulis menganggap Pulau Owi memiliki keajaiban dan sebagai mutiara yang terpendam. Sehingga ditawarkan sebagai ODTW yang memiliki nilai jual tinggi. Dengan posisi strategis yang bisa dijadikan maskot dan pintu gerbang pariwisata bagi kawasan Teluk Cenderawasih dan Wilayah Tanah Papua. Dan jawaban atas berbagai dimensi Pulau Owi sebagai mutiara terpendam inilah yang diuraikan pada bagian isi buku ini.

Apa Pokok Pembahasan Dalam Buku Ini

Buku ini diawali dengan pangantar dari penulis dan sambutan dari Duta Besar Amerika Serikat untuk RI, serta Prolog sebagai pembuka pemahaman. Kemudian isi buku, dan  diakhiri dengan epilog sebagai tali simpulnya. Garis besar isi dari buku ini saya kelompokkan menjadi empat bagian besar, yaitu:

Bagian Pertama, Pendahuluan yang membahas nilai dan potensi pariwisata di Wilayah Tanah Papua, Kawasan Teluk Cenderawasih hingga Pulau Owi sebagai pintu masuk.

Bagian Kedua, Perspektif strategi pengembangan Pulau Owi dengan visi: "Terwujudnya Pulau Owi sebagai pintu masuk Daerah Tujuan Wisata di Kawasan Teluk Cenderawasih Berbasis Nilai-Nilai Sejarah untuk Kesejahteraan Rakyat".

Visi ini kemudian dipertajam dengan misi dan penyusunan rencana induk pengembangan Pulau Owi dengan tujuan serta sasaran yang dipaparkan secara rinci. 

Bagian Ketiga, pembahasan fokus tentang realitas Pulau Owi dalam lingkup Kabupaten Biak Numfor.  Baik dari dimensi geografi dan demografi, monografi hukum adat, serta keadaan umum Pulau Owi; Pulau Owi sebagai pilar pengembangan wisata; Dan ditambahkan mengenai obyek sejarah Perang Dunia II, obyek sejarah gereja dan beberapa obyek penting lainnya.

Bagian Keempat, disampaikan adanya harapan baru. Bahwa, jika potensi pariwisata yang ada dikembangkan secara profesional, arif dan bijaksana, maka Pulau Owi akan memiliki multiplier effects.  Yaitu, efek pengganda yang besar bagi wisata sejarah Perang Dunia II, dan ragam potensi wisata lainnya di Wilayah Tanah Papua. Dan juga bahwa pembangunan berkelanjutan Pulau Owi dan Wilayah Tanah Papua, harus berbasis komunitas dan kearifan lokal serta melibatkan partisipasi masyarakat.

Dan penulis mengakhiri bagian isi buku ini, dengan mengajak untuk bersama-sama menatap ke depan. Bahwa, masa depan Pulau Owi sebagai maskot dan pintu masuk pariwisata di Kawasan Teluk Cenderawasih dan Wilayah Tanah Papua, pada umumnya, terlihat sangat cerah.

Demikian garis besar isi buku ini. Namun ada beberapa bagian yang perlu ditinjau berdasarkan kondisi saat ini, dan apa yang telah dilakukan. Dan hal itu yang perlu saya tanggapi, sekaligus memberi saran bagi pembangunan parisiwsata di Pulau Owi.

Tanggapan dan Saran

Saya sadari bahwa, buku ini ditulis pada tahun 2008, saat Freddy Numberi menjadi  Menteri Kalautan dan Perikanan. Sehingga pembangunan pariwisata di Pulau Owi sebagaimana konsep penulis dalam buku ini bisa saja dianggap tinggal kenangan. Tetapi pilihan Freddy Numberi untuk mengangkat pontesi pariwisata di Pulau Owi itu didasarkan pada fakta. Bahwa memang Pulau Owi memiliki potensi ODTW, yang pantas menjadikannya sebagai destinasi dan pintu masuk pariwisata, di teluk cenderawasih dan wilayah Tanah Papua.

Untuk itu patut disyukuri, dan perlu memberi respon positif terhadap konsep pembangunan pariwisata di Pulau Owi oleh Freddy Numberi dalam bukunya ini. Bentuk responnya adalah dengan memulai sesuatu yang kecil tanpa menunggu pemerintah dan pihak  lainnya.

Ini bukan berarti, bahwa belum ada sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Owi untuk mengelola potensi pariwisata yang ada. Sesungguhnya sudah ada upaya mengelola potensi yang ada oleh pemerintah dari empat desa (kampung) di Pulau Owi. Bahkan saat ini generasi muda di Kampung Yendakam telah mengambil inisiatif untuk memgelola pantai yang ada sebagai obyek wisata. Dan sudah dikunjungi wisatawan lokal Biak, bahkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor.

Sehingga kita perlu mendukung inisiatif anak-anak muda di kampung. Dengan melihat bagaimana konsep pariwisata dalam buku ini. Apakah pembangunan pariwisata sudah berjalan sesuai konsepnya atau tidak? Dan selanjutnya apa yang harus dilakukan? Untuk itu ijinkan saya memberi sedikit pandangan atau tanggapan, seperti berikut:

Rencana Pembangunan Pulau Owi sebagai salah satu Destinasi, dan Maskot Pariwisata di Kawasan Teluk Cenderawasih dan Wilayah Tanah Papua. Bila direalisasikan, akan menjadi berkat yang luar biasa, khususnya bagi masyarakat pemilik dan penghuni Pulau Owi.

Tetapi apakah rencana ini sudah dijelaskan secara baik, termasuk rencana zonasinya (seperti yang dipaparkan disertai gambar dan keterangannya pada halaman 139 -141). Apa yang disampaikan oleh menteri kepada masyarakat Owi, saat kunjugan kerjanya pada 26 Juli 2008 (hal. 146 -- 156)?   

Saya pertanyakan hal ini karena kenyataan pembangunan yang sempat dilakukan untuk tujuan pariwisata, jauh dari harapan. Sama sekali tidak menggambarkan suatu pembangunan yang terrencana dan menyeluruh. Hanya ada beberapa rumah dengan model ramah bencana, dan pembangunan pelabuhan laut tahap I. 

Jika sesuai zonasinya, maka tentunya pembangunan pelabuhan, yang dalam gambar zonasi ada pada keterangan nomor lima (05), akan dibangun tepat di bekas pelabuhan yang dibangun Pasukan Zeni Tempur Sekutu pada tahun 1944.

Tetapi yang sempat dibangun pada tahun 2010 oleh PT. Manunggal Pratama Mandiri, dan mangkrak sampai sekarang, justru berada diluar dari lokasi bekas pelabuhan Sekutu. Pelabuhan itu dibangun justru di tempat yang salah, karena berada di daerah berombak, diluar dari teluk yang dalam sebagai tempat teduh untuk kapal yang berlabuh.

Mengapa bisa seperti itu? Karena tidak ada kesepakatan tentang pembangunan pelabuhan di lokasi yang sebenarnya. Keluarga pemilik tanah atau lokasi tidak menerima pembangunan pelabuhan, karena tidak ada kesepakatan dalam bentuk apapaun dengan mereka dan masyarakat Owi secara umum.

Yang saya mau bilang adalah, rencana pembangunan Pulau Owi sebagai maskot pariwisata, jika tidak dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat adat Owi dari awal secara arif, bijaksana, terbuka dan jujur, maka prosesnya tidak akan berjalan mulus. Bahkan tidak akan berhasil, seperti yang telah terjadi.

Pembangunan pelabuhan itu merupakan program Kementrian Perhubungan, yang dilaksanakan oleh Dirjen Perhubungan Laut melalui Kantor Administrasi Pelabuhan Kelas II Biak. Tentu itu merupakan Kebijakan Freddy Numberi yang waktu itu sudah menjabat menteri perhubungan.

Jadi keberadaan pelabuhan itu juga masih menjadi tanda tanya. Apakah untuk kepentingan pariwisata seperti konsep zonasi dalam buku ini, ataukah untuk kepentingan lain? Karena Freddy Numberi ketika datang ke Pulau Owi setelah menjabat menteri perhubungan, beliau tidak bicara lagi tentang pariwisata, tetapi tentang rencana pembangunan Sekolah Penerbangan.

Kesalahan pembangunan itu juga diakibatkan oleh oknum-oknum orang Owi sendiri yang hanya berfikir untuk kepentingan pribadi. Sehingga mengatasnamakan marga tertentu dan masyarakat Owi secara umum untuk menunjuk lokasi pelabuhan yang salah. Tetapi juga kepolosan sebagian orang Owi yang menerima apa adanya tanpa berpikir panjang. Yang ada dalam pikiran mereka yang penting ada pekerjaan dan ada uang.

Tentu itu masalah. Karena pembangunan itu dilakukan tidak melalui tahapan yang baik. Dan tidak pada tempatnya sesuai rencana zonasi yang ada. Sehingga merusak masterplan pembangunan wisata di Pulau Owi.  Pembangunan yang salah itu justru merugikan negara, jika harus dibangun ulang sesuai rencana zonasi.

Untuk itu saya perlu menyarankan beberapa tahapan (yang harusnya dilakukan pada waktu) dalam proses pembangunan pariwisata di Pulau Owi, sebagai berikut:

Tahap Pertama, sebagai tahap awal perlu dilakukan sosialisasi ulang tentang rencana pembangunan pariwisata di Pulau Owi.  Sosialisasi itu harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Consern).  Yaitu, bahwa sosialisasi harus dilakukan sampai masyarakat Owi benar-benar mengerti. Kemudian mereka sendiri yang memutuskan secara bebas, tanpa paksaan, untuk menerima rencana pembangunan pariwisata itu. Dan dengan demikian, maka masyarakat adat Owi akan turut berpartisipasi penuh dalam seluruh proses perencanaan dan pembangunan pariwisata di Pulau Owi.

Tahap Kedua, Perlu pendampingan dalam proses pengorganisasian dan penguatan kelembagaan adat, dan peradilan adat sesuai kearifan lokal masyarakat adat Owi. Bagian ini harus dilakukan lebih dahulu. Karena lembaga adat dan peradilan adat akan sangat penting dalam melakukan musyawarah adat terkait dengan pemetaan tanah-tanah milik dan garapan dari setiap marga. Dan penyelesaian sengketa tanah, baik di dalam satu marga maupun antar marga melalui peradilan adat.

Pentingnya peradilan adat untuk penegakkan hukum adat. Dan pelestarian norma dan nilai-nilai yang terkandung dalam tatanan adat masyarakat adat Owi dan Byak pada umumnya. Dengan demikian diharapkan masyarakat adat Owi akan memelihara dan mentaati adat sopan santun, serta mengotrol diri dari segala perbuatan yang merusak nilai-nilai adat dan menyebabkan rasa tidak aman dan nyaman bagi para wisatawan.

Penguatan kelembagaan adat dan peradilan adat juga bagian dari pembangunan dan revitalisasi kebudayaan. Karena kebudayaan juga merupakan salah satu obyek dan daya tarik wisata yang harus dipertahankan dan dikembangkan serta dilestarikan.

Tahap Ketiga, perlu dilakukan kajian dan perencaan ulang terhadap rencana pembangunan insfrastruktur pariwisata di Pulau Owi. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan semua pembangunan infrastruktur harus sesuai konsep rencana zonasi dalam buku Freddy Numberi ini. Tetapi juga dengan melihat perubahan yang telah terjadi di Pulau Owi, baik dari sisi pemerintahaan desa/kampung, maupun pembangunan infrastruktur.

Pulau Owi yang dulunya hanya terdapat dua desa pada waktu kunjungan Bapak Freddy Numberi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, kini sudah menjadi empat desa. Yaitu Desa Owi (Desa Induk), Desa Sareidi, Desa Yendakam, dan Desa Wasori. Kewenangan dalam setiap pemerintahaan kampung juga akan berpengaruh terhadap penentuan kampung wisata serta obyek wisata lainnya. Yang mana kemungkinan akan berpengaruh terhadap rencana zonasi pariwisata. 

Tahap Keempat, memfasilitasi kelembagaan adat untuk berperan melakukan pemetaan tanah sesuai batas-batas (yawek) tanah milik dan tanah garapan dari setiap keluarga di dalam masing-masing marga, dan batas yawek dari dua belas marga di Pulau Owi. Tahapan ini wajib dilakukan sebelum pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas penunjang pariwisata dibangun.

Pemetaan ini penting karena akan mempermudah dalam membicarakan hak setiap keluarga dan marga atas tanah milik atau tanah garapan.

Tahap Kelima,  musyawarah dengan masyarakat adat Owi untuk membahas dan menyepakati serta memutuskan secara terbuka, jujur dan adil semua hak dan kewajiban masyarakat adat Owi dalam rencana dan proses pembangunan serta pengelolaan pariwisata di Pulau Owi. Hal ini penting dilakukan sebagai wujud penghormatan terhadap nilai dan prinsip demokrasi, dan untuk menempatkan masyarakat adat Owi sebagai subyek, dan bukan obyek dalam pembangunan. Baik itu pembangunan dalam sektor pariwisata maupun dalam sektor lainnya.

Tahap keenam, adalah tahap pembangunan infrastruktur, obyek wisata dan fasilitas penunjang lainnya. Pembangunan ini harus melibatkan partisipasi masyarakat adat Owi, dalam proses pembangunan dan pengelolaan pariwisata di Pulau Owi. Yang di dalamnya harus dipastikan, adanya effek ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat adat Owi.

Demikian tanggapan dan saran saya, terhadap konsep pembangunan pariwisata di Paulau Owi dalam bukunya Ferddy Numberi. Entah berkenan di hati pembaca atau tidak, khususnya bagi masyarakat adat Owi, mohon dimaafkan. Tetapi harapan saya, isi dari buku ini perlu menjadi topik diskusi untuk kita mencari solusi terbaik bagi pembangunan pariwisata di Pulau Owi. Demi kehidupan masyarakat adat Owi yang sejahtera, rukun dan damai . 

*Penulis berasal dari Pulau Owi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun