Ironi tentang pesaudaraan
Tak terasa, puasa hanya tinggal beberapa hari lagi. Â Aktivitas di pasar, di mall-mall mulai padat. Seperti biasa persiapan lebaran. Para ibu sibuk dengan memutar otak belanjaan apa saja yang akan menjadi prioritas, kue kering lebaran, baju-baju untuk anak-anak, suami dan dirinya sendiri, sebab moment lebaran adalah moment ganti baju juga tak lupa perlengkapan untuk solat ied. Selain kesibukan harian membuat daftar belanja berbuka dan berrsantap sahur.
Para bapak pun tak kalah sibuk memutar otak, keluhan demi keluhan mulai berhamburan apabila belum ada informasi kapan datangnya THR. Seakan menjadi makhluk yang paling menderita di dunia karena menjadi satu-satunya orang yang paling betanggungjawab dalam menghadapi lebaran.
Bagaimana dengan para single mother? Kaum yang satu ini tak kalah menderitanya, sebab bukan hanya menjelang lebaran harus bekerja keras untuk menghadapi lebaran dengan penuh keceriaan dan serba baru tetapi jauh sebelumnya para single mother bekerja keras lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan para ibu-ibu yang bersuami karena setiap kebutuhan hidup single mother harus mampu memenuhinya apalagi jika anak-anak yang ditanggungnya masih kecil-kecil dan memerlukan biaya sekolah yang tidak sedikit.
Kesibukan hari-hari menjelang lebaran tidak dapat di anggap sepele sebab akan terasa sangat sedih jika baju yang dikenakan tidak baru, sendal atau sepatu, kerudung serta kue-kue tentu saja menjadi perkara wajib diganti bahkan opor ayam atau bistik daging  sapi suguhan wajib saat sepulang solat ied. Suasana ceria, bahagia dan juga suasana bertebar uang ampau atau THR.
Lalu bagaimana dengan janji Allah tentang  sepuluh hari terakhir di  bulan Ramadhan, malam-malam indah yang konon dirindukan. Malam lailatul qodar, malam seribu bulan, barang siapa bertemu dengan malam lailatul qodar maka peruntungan, kebahagiaan, keberkahan hidup ada bersamanya. Betapa gencar para asatid ceramahi jama'ahnya tentang keutamaan malam lailatul qodar, namun sesibuk apa mara muslimin duduk berzikir, membaca qur'an dan memanjatkan do'a-do'a di malam-malam tanggal ganjil menunggu para malaikat turun ke bumi.
Konon diceritakan para malaikat turun mendatangi setiap hamba-hamba mengucapkan salam, jika sang hamba itu  beruntung maka si hamba menjawab salam malaikat Allah tersebut. Dikisagkan para  malaikat mendatangi setiap hamba  entah hamba tersebut sedang tidur, sedang nonton tv, sedang menghitung uang untuk belanja atau sedang berbuat dosa atau mungkin diantara hamba ada yang sedang duduk beritikaf di mesjid melantunkan bacaan ayat-ayat al-qur'an. Atau bisa saja orang tersebut baru saja tertidur setelah sekian lama membaca al-qur'an pada saat malaikat turun hendak menyapa.
Para guru mengungkapkan ciri-ciri datangnya malam lailatul qodar, malam ganjil saat malaikat turun ke bumi. Malam yang tenang, berhembus angin, gelap dan sepi. Tampak bintang-bintang bertebaran semua tunduk dan patuh terhadap aturan Tuhan  dan malaikat turun mendatangi hamba-hambaNya. Tak ayal, kaum muslimin yang menunggu datangnya malam lailatul qodar dan beharap bertemu dengan malam itu pun mengira-ngira kapan sebenarnya malam terindah tersebut datang, apakah sempat bertemu dengannya? Atau malah tertidur dan tak menjawab salam para malaikat.
Menanti datangnya malam terindah kita lakukan dengan duduk tenang, makanan yang cukup, perut kenyang yang sebentar-sebentar diserang kantuk dan menguap. Namun nun jauh di belahan bumi lain sejumlah kaum muslimin menunggu datangnya malam terindah dengan todongan senapan di kepalanya, dengan tubuh penuh luka  bahkan mungkin saja saat itu helaan nafas terakhir yang sewaktu-waktu timah panas menembus dada mereka. Itulah saudara-saudara kita di bumi Palestina. Bumi yang kerap dipenuhi dengan ceceran darah, pembantaian dan pelanggaran Hak Asasi Manusia disana dan diabaikan zionis Israel yang membumihanguskan warga Palestina. Â
Masyarakat Palestina yang hendak beribadah di mesjidil Aqsa, diserang, di bombandir dengan letusan senjata api, sajadah mereka diinjak-injak dan disiksa didalam rumah Tuhan, setiap orang yang ingin solat di dalam mesjid dihalang-halangi bahkan dengan ancaman letusan senjata laras panjang.
Ironi, serangan dan kekejaman  tentara Israel saat itu di respon oleh Sekjen  PBB, Antonio Guterres, "terkejut" dengan kekejaman tentara Israel terhadap warga palestina di kompleks Mesjid  al Aqsa. Sang Sekjen merasa ngeri dnegan gambar-gambar  yang dilihatnya  tentang kekejaman tentara Israel yang melakukan pemukulan  dan penyiksaan kepada mereka yang ingin melaksanakan ibadah.
Dunia pun ramai-ramai mengecam aksi kekejaman tentara Israel, tidak ketinggalan Indonesia. Dunia mewacanakan nota perdamaian di bumi Timur Tengah. Aksi kecam terrhadap kekejaman Israel seolah-olah hanya seruan yang tipis, gaungnya tidak membentuk sebuah gerakan. Barat terdiam, tak ada tanggapan yang memberikan dukungan dan pemberian sangsi yang memberatkan Israel terhadap aksi penjajahan dan teror genosida. Semua berjalan biasa saja, tangis dan darah yang bercecer di bumi Palestian seolah hal yang biasa dan wajar.
Coba saja aksi penolakan LGBT yang dikecam negara-negara muslim, Barat sudah berkoar tentang HAM dan segala dalihnya, padahal itu hanya ditujukan pada solidaritas orang-perorang dan masih bisa hidup nyaman. Tetapi jutaan nyawa melayang dan penjajahan berlangsung di palestina, gaungnya nyaris tak terdengar, seolah tak ada fanatisme terhadap nyawa-nyawa yang beterbangan seperti kapas menuju alam baka. Â Â Â Â Â
Coba saja lesti Kejora di kecam natizen, Leslar Lover sontak membela bahkan perang mulut hingga masuk bui dibela-belain dan merasa bangga telah memperjuangkan idolanya dari cemoohan natizen, tapi cobalah tengok anak-anak kecil menangis ketakutan, setiap saat nyawa melayang, rumah-rumah mereka hancur, tak ada masa depan bahkan hanya untuk solat saja nyawa menjadi taruhan, bagaimana mereka menanti malam istimewa lailatulqodar dengan ancaman senjata di kepalanya? Sedangkan kita disini masih mampu tertawa-tawa saat bersantap sahur ditemani artis idola yang siap mengocok perut. Ironi tentang pesaudaraan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H