Mohon tunggu...
Eneng Humaeroh
Eneng Humaeroh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perjalanan sejauh apapun dimulai dengan langkah pertama

Kehidupan hanya sebuah perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Niat Ibadah ke Tanah Suci, Malah Tertipu?

3 April 2023   23:38 Diperbarui: 4 April 2023   04:27 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus penipuan berkedok penawaran umroh sudah lama terjadi. Pada tahun 2017 penipuan umroh yang menjerat  calon jemaah hingga puluhan ribu korban bernilai milyaran rupiah dilakukan First Travel. 

Diduga penipuan umroh marak namun tidak banyak yang mucul dipermukaan dan luput dari pantauan publik. Sehingga tidak dapat dideteksi berapa jumlah sebenarnya yang ditimbulkan dari kerugian penipuan tersebut. Kini muncul kembali kasus penipuan penyelenggaraan umroh dengan pelaku suami isteri atas nama PT Naila Syafaah Wisata Mandiri.

Lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan perjalanan umroh dimanfaatkan oleh para oknum untuk menipu sejumlah jamaah yang ingin segera berangkat umroh. Karena keinginan dan harapan itu jamaah tak segan menjual harta yang dimiliki agar bisa berangkat umroh atau berhaji.

Sayangnya keinginan jama'ah yang baik tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup terkait dengan perizinan, aturan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kebijakan penyelenggaraan umoh. Sehingga sejumlah jama'ah mudah tertipu, uang melayang dan tidak berangkat, bahkan ada yang diberangkatkan tetapi ditelantarkan.  

Anehnya ratusan cabang travel umroh ilegal yang tersebar di seluruh Indonesia berjalan tanpa kendala dan melenggang memakan korban. Lalu kemana pejabat yang bertugas mengawasi penyelenggaraan ibadah umroh ?

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) pada Pasal 1 ayat  19 disebutkan bahwa  Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah. 

Sedangkan Pasal 99 ayat 1 menyatakan bahwa Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. Dan ayat 2 menyatakan bahwa Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur tingkat pusat dan/atau daerah terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. Dan pada Pasal 90 Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah mendapat izin dari Menteri. Artinya para pemilik travel umroh harus memiliki izin yang sah untuk menjalankan aktivitasnya.

 Masyarakat mengharapkan pemerintah maksimal memberikan perlindungan sebab UU PIHU meliputi  berbagai ketentuan teknis dari perizinan, pelayanan, akreditasi, serta hak dan kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) serta berbagai ketentuan pidana. Namun fakta yang terjadi seorang residivis penipuan travel umroh dapat kembali beraksi dengan kasus penipuan yang sama.

Pemerintah dalam UU PIHU merupakan penanggungjawab terhadap penyelenggaraan umroh dan haji tapi faktanya banyak jemaah yang gagal berangkat dan juga terlantar di negeri orang hingga berbulan-bulan.

Padahal pada Pasal 99 ayat 1 menyatakan bahwa Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. Pertanyaannya mengapa bisa ada kasus yang merugikan dengan pelaku yang sama dengan  dengan modus penipuan yang sama, yakni penyelenggarakan umroh.  

Padahal sebagai penyelenggara  Ibadah Haji dan Umrah pemerintah membuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. Fakta yang terjadi PT Naila Syafaah Wisata Mandiri berselancar membuka cabang di seluruh daerah dan anehnya ilegal.

Penulis melihat kecerobohan bukan hanya pada pemerintah semata yang cenderung menutup mata terhadap berlangsungnya aktivitas penyelenggaraan umroh dan haji secara ilegal. Masyarakat pun sama lengah dan lemah pengetahuan terhadap aturan yang berlaku.

Ironisnya penipu didukung oleh para asatid, marbot mesjid, jamaah pengajian dan pengurus-pengurus ormas Islam yang turut memarket keberangkatan umroh. Yang menjadikan iris mereka tergiur dengan metode janji cashback, misalnya setiap merekrut satu calon jamaah mendapat cashback Rp 1 juta, atau setiap membawa 10 jamaah maka dapat satu tiket keberangkatan.

Metode ini sukses menggiring para asatid turut menjadi broker ibadah umroh dengan harapan dapat berangkat tanpa biaya. Yang lebih mengerikan lagi arisan umroh. 

Ada beberapa kelompok yang mengadakan arisan umroh, dengan modal satu atau dua juta sudah bisa berangkat umroh. Ada juga penyelenggara umroh yang memberikan metode kredit atau sistem cicil. Pengalaman penulis ketika mencoba menyampaikan pandangan  terkait dengan metode-metode tersebut tidak rasional dan umroh bukan ibadah  paksa karena belum mampu secara financial maka menggunakan cara-cara yang melanggar norma-norma agama dan aturan yang ditetapkan agama, langsung ditolak dan dijauhi karena dianggap tidak satu frekuensi dengan mereka.

Ibadah haji (atau didalamnya umroh) hanya boleh dilaksanakan oleh seorang mu'min yang sudah mampu, baik mampu secara financial dan mampu secara ilmu. Tetapi bagaimana aturan ini dilanggar dengan berbagai alasan, maka perjalanan yang seharusnya menjadikan jalan peningkatan spiritualitas menjadi petaka dan kesedihan yang luar biasa.

Ketika seseorang belum mampu secara financial lalu memaksakan diri menjual sebagian sawah atau tanah, atau lainnya, namun menyebabkan anaknya tidak dapat melanjutkan sekolah atau berkurang penghasilannya dari lahan yang dimilikinya. Maka keberangkatannya kurang memberikan efek kebaikan baginya. 

Apalagi jika keberangkatan ibadah selain kurang secara financial dan juga kurang secara pemahaman agama, lalu apa yang diharapkan setelah kita pulang dari ibadah? 

Apa yang diniatkan untuk beribadah ke rumah Allah dengan membawa segudang masalah ? sedangkan secara spiritual perjalanan haji atau umroh itu menandakan semakin tingginya esensi ibadah, keikhlasan atau puncaknya nilai ibadah dalam bentuk kepasrahan diri, melepaskan diri dari kehidupan dunia serta hanya Allah saja yang menjadi tujuan.

Ada  pergeseran yang terjadi pada ibadah yang spesial ini. Nilai-nilai spiritual yang ingin di dapatkan malah menuai kesedihan dan sejumlah masalah keduniaan yang  beresiko. Kita tidak dapat hanya menyalahkan pemerintah yang telah lalai melakukan pengawasan terhadap phak-pihak penyelenggaran ibadahm tetapi juga jamaah harus lebih cedas, lebih pandai dan perkuat diri dengan ilmu pengetahuan yang cukup tentang ibadah haji dan umrah, nilai esensi serta nilai-nilai sosial yang melekat didalamnya. 

Alangkah sangat bijak sebagai manusia yang ingin menyempurnakan ibadah kepada Allah kita memperdalam pengetahuan tentang agama, terutama hukum-hukum yang terkait dengan peribadatan haji dan umroh.  

Kita harus perdalam pemahaman aturan-aturan negara tentang keberangkatan serta syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi. dan yang tidak kalah penting adalah meningkatkan ekonomi, sebagai seorang muslim yang ingin menunaikan seluruh rukun Islam, maka kita beupaya dengan keras agar secara ekonomi termasuk kategori mampu sehingga kita dapat pergi ibadah ke Tanah Suci tanpa mencari diskon atau cashback apalagi dengan cara kredit, jadi keberangkatan kita pantas dan mampu baik secara materi maupun secara pengetahuan agama.  

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun