Film superhero The Batman, yang rilis awal Maret 2022 ini, sangat layak untuk dijadikan penambah imun di tengah pandemi Omicron yang melanda bangsa ini. The Batman begitu sarat pesan, di balik persoalan kejiwaan hingga luka batin yang dikemas sangat apik oleh sang sutradara Matt Reeves.
Selama ini, musuh Batman selalu memiliki persoalan psikis atau kejiwaan. Dari mulai The Joker, Penguin hingga kali ini musuhnya bernama Riddler, juga memiliki ganggan mental atau kejiwaan. Tapi bedanya, kali ini Bruce Wayne yang diperankan Robert Pattinson, juga menghadapi persoalan luka batin yang tidak ringan.
Tentu saja, sebagai seorang hipnoterapis klinis, lagi-lagi seolah sedang berada di ruang praktik, ikut penasaran menyelesaikan persoalan klien satu demi satu, sampai ketemu akarnya. Seperti itu pula gambaran dalam film Batman, ketika sang tokoh utama berusaha mengurai persoalannya seperti mengupas kulit bawang.
Superhero dengan ciri khas jubah warna hitam seperti kelelawar ini, di awal film digambarkan sebagai sosok pahlawan yang melakukan pembalasan pada para pelaku kejahatan.
Belakangan, ternyata apa yang dilakukan sang Batman justru menjadi bumerang. Alih-alih menciptakan ketenangan di Gotham City, kota tersebut malah semakin kacau. Puncaknya wali kota hingga para pejabat penting harus tewas. Musuh Batman, Riddler melakukan serangkaian pembunuhan berantai yang terjadi di Gotham City. Ironisnya, ujung dari aksi Riddler yang diperankan Paul Dano ini, justru menuntut Bruce Wayne bertanggung jawab atas semua aksinya.
Apalagi Riddler sudah sangat yakin, bahwa pria bertopeng hitam itu sejatinya adalah anak dari Thomas Wayne, pria kaya yang sangat dermawan, dan punya pengaruh sangat besar di Gotham. Suatu ketika, ayah Bruce Wayne ini gagal dalam pemilihan wali kota karena lebih dahulu terbunuh. Riddler kecil yang kala itu menjadi salah satu anak yatim piatu dan rutin mendapat perhatian, merasa terabaikan. Donasi tersendat, Riddler dan kawan-kawannya terlantar. Saat itulah, ada bara kecemburuan atas diri Riddler terhadap Bruce Wayne yang hidup dianggap bergelimang harta dengan warisan orang tuanya. Tentu saja Bruce Wayne juga dibuat bimbang. Ia tak mengira, persoalan besar di kota itu justru disebabkan oleh orang tuanya. Â Â
Dalam The Batman ini, sosok Bruce Wayne digambarkan memiliki kepribadian yang berbeda. Dalam ilmu teknologi pikiran, kami menyebutnya dengan ego personality (EP) alias bagian diri. Hal itu sangat terlihat jelas dalam setiap adegan.
Ketika Bruce Wayne tampil sebagai dirinya sendiri tanpa jubah hitam, tampak begitu lemah seperti anak-anak yang menyimpan luka batin hingga terus menyimpan dendam karena mengetahui orang tuanya terbunuh.
Tapi, kondisi itu berbanding 180 derajat ketika Bruce Wayne sedang memakai topengnya. Sangat berwibawa dan perkasa. Walau, emosinya sempat terpancing di ujung film, ketika Riddler berusaha mempermainkan perasaannya.
Ujungnya, Bruce Wayne mendapat hikmah dari setiap kejadian yang dialaminya. Bahwa nyatanya, pembalasan tidak akan mengubah masa lalu. Namun, masa lalu harus dijadikan pijakan yang kuat untuk mengubah masa depan yang lebih baik.
Sebaliknya, dendam terhadap masa lalu hanya akan merusak dan menghancurkan segalanya. Tidak akan mengubah apa pun menjadi lebih baik.
Tak hanya Batman, Catwoman yang kali ini membantu perjuangan sang superhero, ternyata juga belum damai dengan masa lalunya. Wanita penyuka kucing yang diperankan Zoe Kravitz ini, akhirnya bisa menemukan akar masalah yang menimpanya.
Film produksi Warner Bros Pictures berdurasi 3 jam kurang 4 menit ini, membuat penontonnya benar-benar masuk ke pikiran bawah sadar. Ketegangan benar-benar muncul dari awal sampai akhir. Tak ada jeda untuk sempat mengunyah cemilan atau sekadar menyeruput minuman. Sayang melewatkan semua adegan yang ditampilkan begitu sinematik.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari film ini. Sekaligus memperlihatkan kondisi di alam nyata, bahwa di balik setiap ketenangan, ada saja yang masih menyimpan luka batin akibat kejadian di masa lalu.
Tak sedikit orang dengan masa lalu yang kurang baik, merasa baik-baik saja. Padahal, jika akar masalahnya tidak dicabut atau diselesaikan, itu hanya akan menjadi bom waktu dan akan merusak semuanya.
Sekali lagi, bagian akhir film ini patut disimak dan direnungkan. Hasil muhasabah diri yang dicapai sang tokoh utama, bisa dijadikan pelajaran untuk seluruh penontonnya. Saatnya damai dengan masa lalu, dan jadikan masa lalu itu sebagai penyemangat dan energi positif untuk menggapai masa depan. Bagaimana menurut sahabat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H