Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toa Masjid, Gonggongan dan Orde Baru

24 Februari 2022   12:34 Diperbarui: 24 Februari 2022   14:45 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tong, tong, tong, tong, tong........." Suara kentongan bersahut-sahutan dari beberapa sudut kampung. "Maliiiing..... maliiiing.....," teriak beberapa warga kemudian. Sontak seluruh warga keluar, mencari asal suara dan segera berlari mengejar sosok yang diduga maling tadi.

Suasana seperti di atas, hampir bisa dipastikan sudah jarang lagi terlihat. Keberadaan Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) yang biasanya dilengkapi kentongan tadi, banyak digantikan dengan pos jaga yang ditunggu oleh sekuriti atau satpam. Ada pula yang menyebutnya dengan wakar.

Pengamanan lingkungan, berganti dengan pengamanan masing-masing. Setiap rumah berlomba-lomba memasang CCTV alias kamera pengintai. Kamera pengintai kini tidak hanya urusan keamanan. Tapi sudah bergeser pula sebagai status sosial. Boleh dikata, hanya mereka yang berpunya yang bisa memasang kamera CCTV. Tentu saja, tak merasa perlu lagi membayar iuran Poskamling tadi.

Hilangnya kentongan yang populer di masa orde baru silam, seolah menjadi tanda, lunturnya kerukunan dan kebersamaan di negara ini. Kebersamaan yang dulu begitu indah, tanpa sekat dan tanpa simbol tertentu, begitu sangat terasa.

Generasi milenial sudah disibukkan dengan gawainya masing-masing. Sementara yang dewasa, sibuk berpolitik dan berusaha mempertahankan kelompok dan identitas masing-masing. Jangankan beda agama. Satu agama saja, ribut. Masing-masing melakukan klaim paling benar dan paling layak masuk surga.

Rapuhnya kerukunan bangsa ini, satu di antaranya adalah sejak hilangnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebagian generasi bangsa ini, tak lagi mendapatkan penanaman norma Pancasila secara mendalam.

Apakah Pancasila lebih tinggi ketimbang agama? Tentu tidak. Agama semestinya justru menjadi filter utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, bertindak sebagai pemersatunya. Sehingga masing-masing individu bisa saling memahami, toleransi, dan menghormati satu sama lain.

Saat nilai-nilai tersebut terabaikan, akhirnya ada orang yang merasa lebih benar. Orang ini kemudian membentuk kelompok. Kelompok ini kemudian bertemu dengan yang satu pandangan, hingga membentuk organisasi lebih besar. Inilah yang kemudian bangsa ini mudah terkotak-kotak.

Kondisi yang terjadi saat ini, di masa lalu sebenarnya sudah sangat disadari oleh Presiden Bapak Soeharto. Bapak Soeharto sudah sangat memahami, Indonesia sebagai bangsa yang besar, harus dijaga pula dengan kekuatan kepemimpinan yang sangat kuat. Terlepas dari sisi kurang positif yang dimiliki, faktanya di era orde baru di masa lalu, berhasil mengantisipasi bibit-bibit perselisihan baik atas nama agama, suku, atau antar kelompok. Tak ada tempat sama sekali bagi yang mencoba radikal.

Munculnya aturan tentang spiker atau toa masjid, yang dilakukan Kementerian Agama, sejatinya adalah akumulasi dari hilangnya kerukunan antarmasyarakat ini. Bukankah sejak negara ini berdiri, azan sudah sejak dulu berkumandang? Bukankah sejak dulu, umat agama lain juga sudah terbiasa? Kenapa itu bisa terjadi? Karena semua merasa satu bangsa, satu keluarga, satu saudara. Semua saling menghargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun