Jumat tadi, sejak pagi tak ada ke luar rumah. Ada beberapa pesanan artikel yang diminta oleh kolega. Segera buka laptop, menuntaskan pekerjaan dengan hati nyaman.
Sedang asyik mengetik, ada kawan-kawan sekolah mengundang video call group. Bukan main serunya, mereka perlu menaikkan imun dengan bercanda dengan saling berkisah tak tentu arah.
Saya hanya sesekali nimbrung, maklum masih fokus dengan artikel yang belum tuntas. Tapi gara-gara video call itu pula, saya baru menyadari rambut sepertinya sudah perlu dipangkas. Â
Jumat sore, masih di depan laptop, berbagi teknik swaterapi, The Heart Technique secara virtual. Alhamdulillah, ternyata banyak peserta adalah teman dan sahabat saya. Ada yang dari Jakarta, Jogjakarta, Cilacap, Semarang, Makassar, serta tentu saja dari Kaltim. Profesinya juga beragam, dari pengusaha sampai profesional dari berbagai bidang. Â Â
Malam hari, ingat lagi soal pangkas rambut. Dengan motor, menuju Jalan KH Samanhudi Samarinda. Warga Kota Tepian lebih sering menyebut kawasan ini dengan Wisma. Maklum dulu ada Bioskop Wisma, yang jadi andalan warga untuk nonton film Rhoma Irama dan sejenisnya.
Di pangkas rambut ini, nyaris saya adalah pengunjung terakhir. Waktu sudah larut, namun si pemangkas rambut tak menolak kehadiran saya. Malah asyik ngobrol, bertanya soal vaksin Covid 19. Rupa-rupanya, pemangkas rambut ini belum vaksin. Dia ingin tahu bagaimana caranya agar bisa vaksin.
Saya mengarahkan beliau untuk memasang aplikasi di telepon androidnya yaitu aplikasi Peduli Lindungi. Gara-gara menunggu saya memasangkan aplikasi, eh ada satu lagi konsumen yang datang untuk potong rambut. Padahal niatnya sudah mau tutup.
Pemangkas rambut ini saya sarankan untuk melanjutkan pekerjaannya, saya bantu untuk mengisi data aplikasi dengan meminjam identitas dirinya. Alhamdulillah sudah terpasang, dan siap vaksin kapan saja, jika stok tersedia. Â
Ya banyak warga memang kurang paham, dan kurang informasi mengenai hal ini. Sehingga proses vaksinasi kurang maksimal. Selain stok juga belum banyak, perlu waktu agar warga seluruhnya bisa menjalani vaksinasi. Bagi yang tidak mau, ya kembali ke masing-masing individu.
Usai pangkas rambut, lanjut mengecek ke Kantor PWI Kaltim di Jalan Biola Samarinda. Ada beberapa wartawan yang sedang menjalani isolasi mandiri. Meski kondisinya sudah semakin membaik, rasanya lebih tenang jika melihat kondisi mereka secara langsung.
Benar saja, beberapa wartawan yang isolasi mandiri sedang bermain biliar. Ada juga yang menonton film. Sementara lainnya sedang asyik di depan komputer. Di meja, terlihat ada bekas makan bareng belum dibereskan. Artinya mereka sudah makan, dan itu pertanda selera makannya makin baik.
Tak lama, saya izin pamit pulang. Di perjalanan, sembari menyusuri jalan-jalan Samarinda, menikmati suasana malam dan mengamati aktivitas masyarakat. Senang rasanya melihat pedagang sedang melayani pembeli. Namun ada juga yang terlihat sepi.
Sesaat, mata malah tertuju pada pedagang bakso yang menjajakan dagangannya dengan cara dipikul. Dia sedang sedang ngaso. Duduk jongkok di depan sebuah toko kelontong, sekadar mengatur nafas. Waktu sudah lebih dari pukul 22.00 Wita, namun dagangannya belum habis. Sementara, biasanya pedagang bakso seperti ini sudah berjualan sejak menjelang siang.
Entah kenapa, tiba-tiba nurani tergerak. Walau tidak lapar, stang motor refleks putar balik. Menghampiri pedagang yang sedang ngaso ini. Si pedagang ini seketika tersenyum, walau tetap tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya.
Saya minta bungkus satu porsi. Karena tidak lapar, saya hanya minta porsi biasa Rp 10 ribu. Tanpa diminta, pedagang ini memisahkan antara kuah dan isi baksonya. Dengan cekatan, satu bungkus bakso sudah berpindah tangan.
Saya memang tidak membawa dompet. Apalagi niat awal hanya keluar untuk pangkas rambut. Tersisa di kantong celana hanya selembar uang Rp 50 ribu. "Tak usah dikembalikan ya pak," ucap saya lirih. "Jangan pak, jangan," balas si pedagang.
"Ngga papa, pak," saya mencoba meyakinkan. Terlihat tubuhnya seketika membungkuk, menyampaikan ucapan terima kasih. Segera saya pacu kembali motor. Dari spion terlihat, si pedagang melanjutkan perjalanannya pulang.
Sahabat, tulisan ini tidak berniat apa-apa. Apalagi kalau dilihat dari nilai sedekahnya, malu rasanya. Sangat kueciiiiil sekali dibandingkan para dermawan di luar sana. Namun, yang ingin saya sampaikan adalah, terkadang, kita sesekali harus membeli makanan yang mungkin kita tahu kurang enak.
Tapi bakso yang saya beli itu juga enak lho. Rasanya juga sama dengan bakso tak jauh dari tempat tinggal saya, yang selalu ramai pembeli.
Sesekali, mari kita cari pedagang yang memang jarang pembeli, untuk membantu dia dan keluarganya bertahan hidup. Yakinlah, hasil jerih payahnya bukan untuk dirinya sendiri. Pasti ada beberapa perut lain yang harus diisi setiap hari.
Sahabat semua, mari kita bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Jika mau berhitung dan membandingkan, pasti masih ada orang lain, yang jauh kurang beruntung dibanding sahabat semua saat ini.
Bagaimana menurut Sahabat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H