Kasus perceraian mengalami peningkatan. Apalagi saat pandemi seperti sekarang ini. Akhirnya persoalan menjadi sangat kompleks. Berlapis-lapis. Sehingga untuk menyelesaikannya perlu kesabaran, seperti mengupas kulit bawang.
Tak heran jika Kompasiana kemudian menjadikan kasus perceraian ini sebagai salah satu topik pilihan. Sebab faktanya, sejak 2015 menjalankan praktik sebagai seorang hipnoterapis klinis, persoalan perceraian memang cukup tinggi.
Sejatinya, ada banyak persoalan yang menjadi latar belakang kasus kurang harmonisnya sebuah rumah tangga, hingga berujung pada perceraian. Konon katanya, suami atau istri masih mampu bertahan ketika dihadapkan pasa persoalan ekonomi, atau penghasilan yang mungkin kurang maksimal. Namun, kalau sudah menyangkut perasaan, sulit mencari penawarnya.
Nah di tengah kondisi pandemi sekarang ini, penyebabnya menjadi makin runyam. Selain soal perasaan, kondisi ekonomi jelas menambah persoalan menjadi tidak mudah. Menyelesaikannya sama seperti mengurai benang kusut. Jika kemudian tidak bisa diurai, mau tidak mau ambil langkah praktis, diputus, alias cerai.
Lalu, kenapa saat pandemi justru makin banyak perceraian? Mari kita coba urai satu demi satu. Pertama soal ekonomi dulu. Diakui atau tidak, kenyamanan setiap individu terganggu saat ini. Mencari rezeki menjadi tidak mudah karena keterbatasan yang ada.
Kalau hanya sehari dua hari, atau seminggu dua minggu, masih bisa tahan. Tapi ini sudah berbulan-bulan. Bukankah level kesabaran setiap orang bisa berbeda-beda. Inilah yang kemudian membuat sebagian merasa stres, hingga memilih jalan pintas, pisah.
Kedua soal perasaan. Ini yang agak rumit. Harus ditelusuri secara mendalam. Boleh jadi, justru ketika pandemi inilah, semua perasaan yang nyaman maupun tidak nyaman, akhirnya terungkap dengan sendirinya.
Itu pula yang kerap terjadi pada setiap pasangan yang menghadapi persoalan perasaan, apalagi diperberat dengan alasan ekonomi. Pisah kemudian menjadi pilihan terakhir. Tapi ingat, pisah itu belum garis finish. Bukan garis akhir. Justru, itu adalah garis awal dalam kehidupan baru yang justru belum jelas arahnya.
Kenapa belum jelas? Sebab, sering kali perpisahan terjadi karena keputusan emosional dan sesaat. Tidak mempertimbangkan berbagai faktor penting lainnya. Begitu berpisah, barulah berbagai persoalan baru bermunculan.
Karena itu, sebelum mengambil keputusan, gunakan timbangan mental yang benar-benar terukur. Misalnya, ketika memutuskan untuk bercerai, apa saja kerugiannya? Buat daftarnya kalau perlu. Tuliskan semua kerugian yang akan terjadi kalau bercerai. Sebaliknya, buat juga daftar keuntungan kalau bertahan. Â Â
Dengan membuat daftar seperti itu, maka keputusan tidak lahir secara gegabah atau muncul dengan kata 'pokoknya'.
Satu lagi yang perlu perhatikan, terutama bagi pasangan yang sudah punya anak. Pertimbangkan betul kondisi mental dan psikologis anak. Sebab bagaimana pun, anak tetap anak bersama. Tidak ada istilah berhenti atau pisah dalam hubungan antara anak dan orang tua.
Jadi, yakin akan tetap bercarai, atau sebaiknya bertahan dan memperbaiki secara perlahan? Anda yang memutuskan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H