Padahal, yang terjadi adalah, sang korban sedang mengalami tonic immobility. Ini adalah kondisi seseorang yang tiba-tiba merasakan kaku di sekujur tubuh, lemas, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak kuat untuk melawan. Ini sama dengan yang dialami korban gendam.
Ketika seseorang dalam kondisi tersebut, saat itu pula pikiran bawah sadarnya terbuka lebar. Maka setiap detik kejadian, secara detail akan diingat dan direkam oleh pikiran bawah sadar dengan jelas. Di situlah trauma mulai tertanam di pikiran bawah sadar korban.
Karena itu, ada dua tahapan yang harus dilalui para penyintas agar kondisi mental dan kejiwaannya kembali normal. Pertama, yang harus dilakukan saat ini adalah menetralisir emosinya. Dengan teknik tertentu, emosi atas kejadian yang mereka alami harus dihilangkan. Sehingga ketika mendengar nama IM, atau melihat foto atau hal-hal yang menyangkut IM, penyintas sudah netral dan biasa-biasa saja.
Tidak memendam perasan yang tidak nyaman. Pada tahapan ini, memori belum dihilangkan atau dikaburkan. Sebab, memori ini masih sangat dibutuhkan di persidangan, sehingga penyintas masih ingat dengan detail semua yang telah terjadi.
Setelah proses hukum selesai dan berkekuatan hukum tetap, maka para penyintas bisa menjalani tahap berikutnya yakni terapi untuk menghapus atau mengaburkan memori terkait kejadian pelecehan yang dialami.
Dengan cara itu, maka para penyintas bisa menjalani kehidupan normal seperti sedia kala, dengan tetap memetik hikmah atas kejadian yang sudah dialami sebelumnya. Demikianlah kenyataannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H